Kabar Latuharhary

Komnas HAM: Pembangunan dan Bisnis Harus Berbasis HAM

Kabar Latuharhary – Pemerintah sedang gencar melakukan pembangunan dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selama ini pertumbuhan ekonomi yang naik dari tahun ke tahun menjadi patokan kemajuan suatu negara. Padahal naiknya pertumbuhan ekonomi belum tentu menaikan kesejahteraan rakyat, tapi bisa jadi justru menciderai hak-hak asasi mereka sebagai manusia.

Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara atau yang akrab disapa Beka menyampaikan jika pemerintah harus menjadikan hak asasi manusia (HAM) sebagai standar di setiap proyek pembangunan. Pernyataan ini disampaikan saat menjadi narasumber dalam diskusi online bertajuk “Bencana Alam di NTT dan Proyek Hutang /Mandalika: Perspektif Keadilan Sosial, Keadilan Jender, dan Keadilan Iklim” melalui zoom meeting, Minggu, 18 April 2021.

“Banyak instrumen HAM yang dapat dijadikan panduan oleh pemerintah dan swasta dalam pembangunan sehingga meminimalisir pelanggaran HAM yang kerap terjadi di sektor bisnis,” ucap Beka.

Beka menyinggung pembangunan yang saat ini sedang terjadi di Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Menurutnya, persoalan Mandalika bukan persoalan yang baru, namun asal mula pokok sengketa lahannya sudah terjadi sejak zaman Orde Baru di tahun sembilan puluhan. Proses pembebasan lahan yang disinyalir kental dengan tindakan intimidasi, kriminalisasi, dan pemaksaan membuat Komnas HAM turun ke lapangan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran HAM tersebut.

Berdasarkan catatan di lapangan, pemerintah dan PT. ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) tidak menempatkan isu HAM sebagai basis dalam melakukan aktivitas dan pembangunan di kawasan ekonomi khusus Mandalika. Lahan yang sedang dalam proses pembangunan sirkuit MotoGP ternyata belum seluruhnya dibebaskan. Terkait masalah lahan tersebut, Beka merekomendasikan kepada PT. ITDC untuk membuka ruang dialog dengan warga guna mencari solusi alternatif yang sesuai. “PT. ITDC harus menghormati hak-hak warga dan menghindari adanya penggunaan atau pelibatan aparat keamanan secara berlebihan,” lanjut Beka.

Eksekutif Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Nur Hidayati yang turut hadir pada diskusi ini menyampaikan jika proyek pembangunan di Mandalika adalah potret ambisi infrastruktur pemerintah yang merugikan rakyat. “Prosesnya yang tidak transparan dan tanpa melibatkan masyarakat menimbulkan banyak konflik. Hal seperti ini tidak hanya terjadi di Mandalika, masih banyak kasus serupa yang terjadi di wilayah lain seperti di Tanjung Kelayang, Morotai dan lainnya,” ujar Yaya -- sapaan akrab Nur Hidayati.

Tidak hanya itu, Yaya mengungkapkan jika masyarakat yang menolak pembangunan tersebut maka akan ada tindakan kekerasan dan kriminalisasi karena dianggap tidak mendukung pembangunan. “Selama 2020 tercatat 18 kasus konflik dan kriminalisasi yang terjadi di 12 provinsi. Kriminalisasi dan kekerasan tersebut dilakukan oleh perusahaan, aparat penegak hukum dan pemerintah daerah,” kata Yaya sambil menayangkan paparannya.

Menanggapi hal tersebut Beka menekankan jika pemerintah selaku pemangku kewajiban HAM perlu memberikan perhatian khusus di sektor bisnis untuk mencegah pelanggaran HAM berulang di proyek-proyek pembangunan lainnya. “Indonesia adalah anggota dewan HAM dan itu terjadi selama 5 kali berturut-turut, sehingga HAM harus menjadi standar pemerintah dalam melakukan pembangunan di sektor bisnis dan sektor-sektor lainnya,” ujar Beka. (Ratih/Ibn)




Short link