Kabar Latuharhary

Menuju Ratifikasi OPCAT Demi Mencegah Praktik Penyiksaan

Jakarta  - Praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia (ill treatment) masih terus terjadi dan berulang di Indonesia. Pengulangan kasus penyiksaan ini memerlukan langkah konkret pencegahan dari berbagai pihak.

“Kalau kita bicara tentang realitas yang terjadi, praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya sudah berada di situasi yang mengkhawatirkan,” ungkap Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin saat menjadi narasumber dalam Seminar Publik: “Kenali dan Cegah Penyiksaan, Wujudkan Segera Ratifikasi OPCAT” yang berlangsung secara daring, Jumat (25/6/2021).

Praktik-praktik penyiksaan menjadi salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, ujar Amir, terutama terjadi di tempat-tempat penahanan, tempat-tempat yang tidak bisa diakses secara terbuka atau tempat-tempat menyerupai penahanan dimana kebebasan seseorang tercabut.

Meskipun Indonesia telah meratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Namun, hampir 23 tahun UU ini lahir belum menjadi rujukan dalam pencegahan tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia di Indonesia.

Upaya meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT), jelas Amir, sejatinya untuk memperkuat UU Anti Penyiksaan. OPCAT hadir untuk melengkapi upaya pencegahan penyiksaan sesuai dengan UNCAT dan menjadi alat praktis untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan kewajiban internasional mereka berdasarkan UNCAT dan hukum kebiasaan internasional.

Demi mewujudkan sistem pencegahan penyiksaan itulah, Komnas HAM bersinergi bersama empat lembaga lainnya yakni Komnas Perempuan, LPSK, Ombudsman serta KPAI.  “Sudah hampir lima tahun ini kita bicara tentang upaya bersama untuk menangani praktik penyiksaan,”ucap Amir.

Kolaborasi yang dilakukan lima lembaga ini merupakan upaya bersama dalam menjalankan amanat konstitusi untuk menghentikan penyiksaan.Pengakuan dan jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan telah diatur dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia nasional maupun internasional, salah satunya pada Pasal 28G ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.

Amiruddin juga mendorong berbagai pihak untuk meratifikasi OPCAT. “Kami lima lembaga mengajak semua pihak untuk bersama-sama meratifikasi OPCAT agar semua pihak terutama instansi yang berkaitan langsung dengan tempat penahanan memiliki alas hukum, dan cara untuk mengatasinya sesuai dengan norma HAM yang juga berlaku secara internasional,”ujarnya.

Ia berharap semua pihak seperti Kemenkumham, Polri, TNI, Kemenkopolhukam, Kementerian Luar Negeri maupun DPR untuk berkerja sama dalam upaya mencegah, mengatasi dan menghentikan praktik penyiksaan, kekerasan serta tindakan tidak manusiawi lainnya. Harapannya, aparatur penegak hukum juga memiliki perspektif HAM. (AM/IW)

Short link