Kabar Latuharhary

Mengembalikan Arah Pengelolaan SDA ke Jalan yang Benar

Kabar Latuharhary – Untuk melestarikan hutan dan menyejahterakan rakyat, bangsa ini harus kembali kepada komitmen awal reformasi dengan mengacu pada TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP MPR itulah yang seharusnya menjadi arah dari pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Hal itu disampaikan Sandrayati Moniaga, Komisioner Komnas HAM, dalam Webinar Nasional "PP Nomor 23 Tahun 2021: PNBP dan Dampaknya bagi Hutan Lestari" yang diselenggarakan secara online oleh DPP PDI Perjuangan pada Rabu, 14 Juli 2021.

Lebih lanjut Sandra mengatakan, TAP MPR tersebut menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah, dan mengganti semua peraturan pelaksanaan yang tidak sejalan dengan ketetapan tersebut.

Dalam hal kelestarian pengelolaan hutan, menyangkut tiga aspek, yaitu ekologis, ekonomi, dan sosial. Pada aspek sosial khususnya hak asasi manusia (HAM), Indonesia memiliki sejarah kelam dalam pengelolaan kawasan hutan. Penetapan kawasan hutan secara sepihak pada masa Orde Baru dengan menegasikan keberadaan hak individu dan hak komunal masyarakat berimplikasi pada tingginya pelanggaran HAM.

"Jika berfokus pada HAM, berdasarkan data dari pengaduan, pemantauan, dan mediasi serta inkuiri nasional tahun 2014 - 2016, Komnas HAM mencatat kita mempunyai sejarah kelam kehutanan. Hal itu terjadi karena menegasikan keberadaan hak individu dan hak komunal masyarakat yang sesungguhnya telah diakui oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), karya besar pemerintahan Presiden Soekarno,” kata Sandra.

Sandra menjelaskan hal tersebut terjadi ketika negara menetapkan kawasan hutan secara sepihak pada tahun 1970 sampai 1980-an (masa Orde Baru). Pada rentang periode tersebut menurut Sandra hampir 70% wilayah Indonesia dinyatakan sebagai kawasan hutan dan dikelola sebagai hutan negara tanpa proses atau batas yang semestinya.

Menurut Sandra, tingginya pelanggaran HAM di kawasan hutan itu adalah nyata adanya. Hal tersebut dibuktikan dari hasil inkuiri nasional yang dilakukan Komnas HAM pada 2014 yang hasilnya menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran atas hak hidup, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas rasa aman, hak atas kekayaan, hak atas pekerjaan, hak atas tempat tinggal, hak atas pangan, dan sebagainya. “Berapa puluh orang sudah meninggal dunia memperjuangkan tanahnya karena diklaim secara sepihak oleh negara sebagai kawasan hutan dan ketika mereka berladang dianggap sebagai ilegal, ini persoalan”, ujar Sandra.



Sandra melanjutkan, untuk perkembangan selanjutnya sejak pemerintahan setelah reformasi, mulai ada pengakuan atas masyarakat hukum adat dan hutan adat. Terutama setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang diputuskan pada tanggal 16 Mei 2013. Isinya menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hal tersebut mengoreksi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 1 ayat 6 (Hutan adat hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat).

“Jadi, sejak itu mulai ada gerakan untuk mengakui hutan adat, tetapi tetap tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang belum diakui. Mulai ada percepatan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), namun belum didukung oleh pemerintah daerah,” kata Sandra. Menurut Sandra, hanya sedikit pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan daerah (perda) atau surat keputusan (SK) bupati yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Selain itu, juga belum tersedia mekanisme penyelesaian konflik-konflik yang menyebabkan begitu banyak terjadinya konflik.

“Begitu banyak tanah-tanah kawasan hutan yang masih berkonflik dan inilah titik-titik pelanggaran HAM terjadi. Telah terjadi perampasan tanah-tanah rakyat oleh negara secara sistematis oleh pemerintahan Orde Baru. Sebagian besar kawasan hutan ini dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha,” ucap Sandra.

Penulis: Niken Sitoresmi.
Editor: Rusman Widodo.

Short link