Kabar Latuharhary

Problematika HAM Masyarakat Miskin Kota

Kabar Latuharhary – Masyarakat miskin kota adalah salah satu kelompok yang hak asasi manusianya sering terlanggar. “Berbagai situasi dan kondisi pemicu serta ketidakcakapan pemerintah dalam merespon hak-hak warga negara, akan menimbulkan problematika dan isu pelanggaran HAM di masyarakat, dalam hal ini khususnya masyarakat miskin kota,” ucap Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam acara Webinar online Lomba Ilmiah Mahasiswa Sosial Politik Universitas Indonesia (Limas UI) 2021, "Tergerusnya Hak Asasi Manusia: Suatu Problematika Bagi Rakyat Miskin Kota", Minggu, 26 September 2021.

Bicara HAM, menurut Beka – sapaan akrab Beka Ulung Hapsara -- sebenarnya bicara soal kita. Karena HAM itu, dari sejak lahir sampai kita meninggal, selalu melekat di kita semua dan hanya hilang ketika seseorang meninggal dunia.

Beka melanjutkan, bahwa dalam konteks HAM ada dua hal yang perlu dilihat. Pertama, kewajiban negara dan kedua kewajiban warga negara terhadap HAM. “Kewajiban negara terhadap HAM itu P5, yaitu penghormatan, pemajuan, pemenuhan, pelindungan, dan penegakan. Kewajiban warga negara apa? Hanya satu, yaitu menghormati hak asasi orang lain,” kata Beka.

Lebih lanjut, menyoal kewajiban yang melekat tersebut, jika negara yang mengabaikan soal penghormatan, pemajuan, pemenuhan, pelindungan, dan penegakan HAM, Beka mengungkapkan bahwa hal itu dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM. Lain halnya, jika warga negara yang melakukan kekerasan atau tindakan pidana, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran pidana atau tindakan pidana. “Jadi, ada pelanggaran HAM, ada pelanggaran pidana, ini yang juga kadang-kadang sangat sering untuk di miskonsepsikan begitu,” tutur Beka.

Menurut Beka, problem HAM di Indonesia antara lain problem soal urbanisasi. Jadi, ketika kita bicara soal HAM, tidak bisa dilepaskan dari konteks atau situasi yang ada. Saat ini, di Indonesia salah satu problemnya adalah rapid urbanization atau urbanisasi yang sangat cepat. Orang-orang kemudian cenderung berpindah dari desa ke kota. Cita-citanya ingin kerja, ingin mendapatkan penghasilan yang layak, kemudian sebagian penghasilannya dikirimkan ke orang tua untuk balas budi, dan lain-lain. Itu mimpi orang. Nah, dari cita-cita yang banyak sekali ini, kemudian berkumpul dan pemerintah merespon hal itu. Mungkin responnya tidak cukup, sehingga muncullah problem-problem di perkotaan. “Akhirnya, karena tidak adil atau timpang, sebagian dari masyarakat itu jadi miskin atau dimiskinkan. Itu problem utamanya disitu,” ucap Beka menjelaskan.

Menilik hal tersebut, saat ini menurut Beka, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak banyak yang mendengarkan suara-suara dari kelompok-kelompok yang lemah atau dilemahkan tersebut. Menurut Beka, masyarakat bagian dari kelompok-kelompok yang tidak terlindungi itu seharusnya diberi kesempatan untuk bersuara. Tidak malah dikriminalkan dan dipinggirkan, bahkan seharusnya dapat dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan.

Stigma negatif yang melekat kepada rakyat miskin kota juga menjadi problematika lainnya. “Mereka kemudian dianggap bodoh, manutan atau diberi apapun pasti menerima, dan sebagainya. Itu problem-problem yang melingkupi rakyat miskin kota,” kata Beka.

Lebih jauh, problematika yang ada tersebut kemudian, dapat saling berpengaruh pada situasi dan kondisi di daerah lainnya. Kebijakan yang ada di satu daerah menurut Beka, juga dapat mempengaruhi daerah-daerah lain disekitarnya.

“Misalnya, Jakarta. Jakarta ini kan jadi center atau magnet. Kebijakan yang ada di Jakarta akan mempengaruhi daerah sekitarnya,” kata Beka. Jakarta dengan mobilitas orang yang sangat tinggi, menurut Beka akan mengakibatkan berbagai problematika yang dapat mempengaruhi aspek-aspek pemenuhan HAM bagi daerah-daerah lain disekitarnya.

Narasumber lain Wirya Adiwena Deputy Director Amnesty International Indonesia mengungkapkan bahwa pemenuhan terhadap hak-hak masyarakat miskin perkotaan itu, perlu didorong oleh negara dan akan saling terkait satu sama lain. “Catatan dari saya, saat kita membicarakan konteks HAM dalam masyarakat sipil perkotaan, selain kita tidak boleh melihatnya dalam perspektif kolonial, diskriminatif terhadap masyarakat miskin perkotaan, kita juga harus melihatnya dalam konteks satu sama lain. Saat kita ingin bicarakan soal masyarakat miskin perkotaan, jangan hanya lihat isu per isu saja, tapi pastikan kita melihatnya secara interconnected,” ujar Wirya Adiwena.

Narasumber lain yang hadir dalam webinar tersebut Mamik Sri Supatmi Dosen Kriminologi UI mengungkapkan bahwa kemiskinan merupakan suatu bentuk struktural dari pelanggaran HAM. “Kemiskinan terdiri dari penolakan sistematis atau penolakan struktural terhadap kebebasan dasar yang mengakibatkan individu tidak/kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka dan rentan terhadap pelanggaran HAM,” ucap Mamik Sri Supatmi.

Penulis: Niken Sitoresmi. 

Editor: Rusman Widodo.

Short link