Kabar Latuharhary

Seksisme dan Misogini dalam Perspektif HAM

Kabar Latuharhary – Setiap manusia dilahirkan setara. Apapun gendernya manusia memiliki hak yang sama. Namun, perempuan seringkali mendapatkan diskriminasi berbasis gender. Salah satu diskriminasi tersebut berupa seksisme dan misogini yang banyak ditayangkan dalam dunia hiburan di Indonesia.

Menilik hal tersebut Komnas Perempuan berencana membuat penelitian terkait mekanisme tayangan yang tidak diskiminatif. Sebuah FGD dengan tema “Kajian tentang Mekanisme Pengawasan Muatan Siaran Hiburan di Televisi” kemudian diselenggarakan untuk mendapatkan masukan atas penelitian yang akan dilakukan tersebut. Komnas HAM diundang sebagai salah satu peserta aktif Focus Group Discussion (FGD). Pada acara itu, Komnas HAM diwakili oleh Staf Dukungan Penyuluhan, Rebeca Amelia S. dan Feri Lubis. FGD digelar secara luring di Hotel Mercure, Jakarta Pusat, pada Senin, 25 Oktober 2021. 

Selain Komnas HAM peserta FGD berasal dari beberapa lembaga. Lembaga yang diundang adalah Komisi I DPR RI, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo), dan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).

FGD tersebut membahas diskriminasi terhadap perempuan berupa seksisme dan misogini yang ditampilkan dalam tayangan televisi di Indonesia. Tayangan sinetron, iklan, talk show, Film Televisi (FTV) merupakan beberapa program yang menjadi wadah konstruksi seksisme dan misogini di televisi.

Membahas lebih dalam, seksisme adalah diskriminasi berdasarkan gender atau pemikiran yang percaya bahwa laki-laki itu lebih superior dibandingkan perempuan. Sedangkan misogini adalah bentuk diskriminasi terhadap gender perempuan yang melibatkan kebencian.

Seorang misoginis akan memandang perempuan sebagai pihak yang memang pantas ditindas, disudutkan, dan dieksploitasi. Seksisme dan misogini sama-sama menomorduakan perempuaan dibandingkan dengan laki-laki. Namun, misogini lebih berdampak, karena terdapat unsur kebencian di dalamnya. Seksisme dan misogini tentu bertentangan dengan prinsip HAM yaitu kesetaraan dan nondiskriminasi.

Rebeca mengatakan bahwa seksisme dan misogini dalam tayangan televisi tumbuh subur karena mendapatkan rating yang tinggi. “Sebagai lembaga riset pemeringkatan/rating satu-satunya yang ada di Indonesia, seharusnya dilakukan audit terhadap hasil riset Nielsen. Hal ini dilakukan agar hasil rating yang disajikan Nielsen tidak diragukan,” tutur Rebeca.

Selain itu, Perubahan regulasi penting untuk dilakukan karena zaman yang terus berkembang. Kebijakan-kebijakan yang ada harus menyesuaikan dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Hal ini dilakukan agar mekanisme pengawasan yang dibuat berjalan efektif, tambah Rebeca melajutkan.

Menyambung Rebeca, Feri mengatakan bahwa beberapa tahun kedepan, media televisi akan menjadi bagian kecil dari media yang ada. Perkembangan digital membuat banyak pilihan. Saat ini, muncul platform-platform lain yang berbasis digital sehingga televisi lambat laun akan ditinggalkan. “Mekanisme pengawasan terhadap platform-platform digital populer, perlu menjadi perhatian,” ujar Feri.

Lebih lanjut Feri menambahkan bahwa pengetahuan akan HAM kepada pelaku industri hiburan perlu diberikan. Hal ini adalah tindakan preventif. Penyebarluasan HAM dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran mereka akan isu-isu HAM. Sehingga karya-karya yang dihasilkan ramah HAM, pungkas Feri memberikan tanggapan.

Penulis: Feri Lubis

Editor: Christi Ningsih

 

Short link