Kabar Latuharhary

Hak Penyandang Sindroma Down Masih Terabaikan

Kabar Latuharhary – Informasi terkait sindroma Down masih sangat minim, hal ini menyebabkan para penyandang sindroma Down kesulitan dalam menjalani kegiatannya sehari-hari. Ketidaktahuan sindroma Down menjadi akar masalah munculnya stigma-stigma negatif kepada para penyandang sindroma Down yang tidak sedikit berakhir dengan tindakan diskriminasi.

Bidang Penyuluhan Komnas HAM menyelenggarakan talkshow bertema “Sindroma Down dan Kita” yang ditayangkan secara langsung melalui Instagram Komnas HAM (@komnas.ham) pada Sabtu (30/10/2021). Talkshow ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan menuju peringatan 73 tahun Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Se-dunia yang setiap tahunnya diperingati oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Talkshow yang mengangkat sindroma Down sebagai pembahasan diskusi ini dimoderatori oleh Penyuluh Komnas HAM, Sri Rahayu. “Malam hari ini kita akan mengobrol tentang sindroma Down sebagai upaya Komnas HAM untuk selalu mengingatkan negara dalam pemenuhan HAM bagi teman-teman penyandang sindroma Down,” ucap Ayu – sapaan akrab Sri Rahayu.

Dewi Tjakrawinata seorang aktivis perempuan dan salah satu pendiri Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (Yapesdi) dihadirkan menjadi narasumber talkshow kali ini. Hal ini Komnas HAM lakukan sebagai dukungan dan upaya penyebarluasan hak-hak penyandang sindroma Down yang masih terabaikan. Selain itu Oktober juga dikenal sebagai bulan meningkatkan pengetahuan tentang sindroma Down, talkshow “Sindroma Down dan Kita” diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran negara sebagai pemangku kewajiban dan masyarakat pada umumnya agar tidak ada tindakan-tindakan diskriminasi kepada para penyandang sindroma Down.


Pada kesempatan ini Dewi membagikan ilmu dan pengalamannya dalam merawat anak bungsunya yang menyandang sindroma Down. Kelainan genetik dengan istilah sindroma Down ini diambil dari nama penemunya, yaitu dokter asal Inggris bernama John Langdon Down. Penyebab pasti sindroma Down masih belum diketahui, namun adanya kelainan di kromosom nomor 21 disinyalir mempengaruhi sindroma ini.

“Orang-orang masih mengkonotasikan kata Down pada sindroma Down sebagai lawan kata dari ‘up’ yang berarti turun, padahal diberi nama Down karena penemunya memang bernama Down,” ucap Dewi meluruskan persepsi yang selama ini salah kaprah.

Stigmatisasi kata Down yang berarti buruk tersebut menempel erat pada para penyandang sindroma Down yang menyebabkan mereka dianggap bodoh dan tidak memiliki kemampuan apa-apa. “Mereka bisa seperti orang lainnya yang tanpa sindroma Down, namun mereka membutuhkan waktu yang lebih untuk mengolah informasi-informasi yang didapat,” ucap Dewi lebih lanjut.

Sindroma Down dikategorikan masuk ke dalam disabilitas intelektual, namun bukan berarti para penyandangnya tidak mampu berpikir. Adanya stigmatisasi buruk seperti itu melahirkan berbagai bentuk diskriminasi yang sering diterima para penyandang sindroma Down, penolakan masuk ke sekolah umum misalnya. Belum lagi tekanan dari keluarga yang menganggap mereka bagaikan aib yang harus ditutupi rapat-rapat.

Seharusnya penyandang sindroma Down memiliki hak yang sama seperti warga pada umumnya, namun perhatian yang minim dari negara, masyarakat bahkan keluarga membuat para penyandang sindroma Down terlupakan. Mirisnya tidak ada pelibatan para penyandang sindroma Down di berbagai sektor, mereka sulit mengenyam bangku pendidikan, sulit mendapatkan pekerjaan, sulit bersosialisasi di tengah masyarakat, tidak ada rasa aman, dan kesejahteraan terabaikan. Akses untuk berkembang seakan tertutup untuk para penyandang sindroma Down dan ini semua membuat hak-hak mereka semakin tercerabut.

Dewi berharap ada perhatian khusus dari negara untuk pemenuhan hak-hak para penyandang sindroma Down, adanya layanan kesehatan dan terapi gratis sangat diperlukan bagi para penyandang sindroma Down. “Perlu ada hotline khusus terkait sindroma Down dan pemerintah harus memberikan kesempatan bagi semua penyandang sindroma Down untuk melakukan terapi melalui BPJS secara gratis karena setidaknya mereka harus terapi seminggu sekali dengan biaya yang cukup mahal di setiap sesi terapinya,” jelas Dewi.

Listen, include, respect adalah cuilan pesan yang terucap dari Dewi di akhir acara. “Dengarkan atau pahami mereka, inklusikan mereka dalam setiap momen, dan hormati mereka karena mereka juga manusia yang memiliki hak yang sama seperti kita semua,” pungkas Dewi.

Penulis: Andri Ratih

Editor: Christi Ningsih

Short link