Kabar Latuharhary

Mengkaji Isu Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam RKUHP


Latuharhary – Kebebasan berpendapat dan berekspresi di tengah masyarakat Indonesia dinilai menjadi isu krusial. Komnas HAM RI mencermati isu tersebut harus menjadi sebuah pembahasan khusus sebelum Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga mencatat beberapa isu krusial dalam proses penyusunan RKUHP yang masih perlu dikaji lebih komprehensif. Isu tersebut di antaranya mengenai beberapa pengaturan terkait dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat; pidana mati; kebebasan sipil; tindak pidana kesusilaan; dan pengaturan pidana khusus. 

“Jadi pembatasan ada koridornya dimana esensi hukum pidana bahwa negara memberikan hukuman terhadap pelaku pidana sebagai bentuk pembatasan terhadap HAM,” ungkap Sandra saat menjadi pembicara dalam NgorbIT (Ngobrol Intuitif): Problematika RKUHP: Pembatasan Kebebasan Berekspresi dalam Rancangan KUHP” yang diselenggarakan BEM STHI Jentera melalui webinar, Rabu (29/6/2022).

Menyoal kebebasan sipil, Sandra mencermati salah satu pasal bermasalah, yaitu pasal penghinaa  kepada presiden dan wakil presiden.  Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau dihapuskan keberlakuannya.

 “Pasal ini sudah dianggap inkonstitusional yang bertentangan pula dengan UUD 1945 dan semangat demokrasi,” kata Sandra.

Ia menerangkan dalam Pasal 28J (2) UUD 1945 dirumuskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Tujuannya untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 

Ia kemudian merujuk Paragraf 83 Standar Norma dan Pengaturan Nomor 5 tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi bahwa para figur publik dan orang-orang dalam jabatan publik subyek yang sah untuk dikritik, sehingga hukum-hukum yang melarang kritik pada pejabat publik, misalnya penghinaan, atau hukum-hukum yang mempidanakan ketidakhormatan pada simbol negara seperti bendera, perlu dirumuskan dengan tidak melanggar kebebasan berekspresi.
Hukum pidana tentang penghinaan atau pembatasan-pembatasan tertentu yang menyasar larangan menghina simbol-simbol negara dan lainnya juga dinilai hambatan dalam pelaksanaan kebebasan berekspresi. 

“Seseorang tidak dapat dihukum atas kritik dan penghinaan (insult) terhadap negara dan simbol-simbol negara, kecuali bahwa kritik dan penghinaan tersebut dimaksudkan untuk menghasut kekerasan yang nyata (imminent violence) – Prinsip 7 Johannesburg Principle. Perlu diatur secara limitatif terkait pembatasan yang dapat membedakan penyerangan kehormatan/harkat&martabat sebagai konsekuensi jabatannya sebagai Presiden atau Wakil Presiden atau penyerangan kehormatan/harkat& martabat diri Presiden atau Wakil Presiden sebagai individu manusia (fisik). Jadi harus jelas,” urai Sandra. (AAP/IW)
Short link