Kabar Latuharhary

Pengadilan HAM Harus Diiringi Political Will yang Kuat

Kabar Latuharhary – “Komnas HAM memiliki mandat untuk melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang berat. Penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM di Pengadilan HAM akan sulit untuk berjalan apabila tidak diiringi oleh political will yang kuat. Harus ada kehendak kuat dari pemerintah yang sedang berkuasa sekarang untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat itu. Sepanjang itu tidak ada, akan sulit,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal, Abdul Haris Semendawai ketika menjadi penanggap diacara Bedah Buku “Indonesia dalam Pusaran Politik Regional: Sebuah Bunga Rampai” yang diselenggarakan Biro Dukungan Pemajuan HAM secara daring dan luring di Ruang Pleno Lantai 3 Gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, pada Selasa, 13 Desember 2022.

Pada acara ini, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro membuka acara dan Plt. Sekretaris Jenderal Aris Wahyudi memberikan sambutan. Diskusi dan bedah buku yang memiliki 378 halaman ini menghadirkan narasumber Priyambudi Sulistiyanto selaku penulis buku dan penanggap diskusi yaitu: Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Abdul Haris Semendawai; Ketua Komnas HAM periode 2007-2012 Ifdhal Kasim; Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo; dan Regional Program Manager Asia Justice and Rights (AJAR) Indria Fernida serta dimoderatori oleh Penyuluh HAM Rusman Widodo.

Aris Wahyudi pada sambutannya memberikan apresiasi terhadap komitmen dari semua pihak yang telah hadir dan telah bersedia terus belajar untuk menggali berbagai pandangan dan perspektif untuk mendalami tentang HAM terutama terkait politik rekonsiliasi. Semoga melalui diskusi bedah buku ini, utamanya terkait dengan politik rekonsiliasi kita bisa menemukan pemikiran-pemikiran yang baru dan fresh untuk mendukung penyelesaian beragam kasus pelanggaran berat HAM,” ucap Aris Wahyudi.


Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa diskusi kali ini menjadi kesempatan untuk memberikan ruang bagi Komnas HAM dan public untuk menempatkan konteks kegiatan Komnas HAM pada konteks yang lebih luas.

“Buku ini sangat penting, karena apa yang dilakukan Komnas HAM dan yang masih menjadi pekerjaan rumah Komnas HAM sebagian dapat dicari akarnya dari tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini. Dalam politik regional di Asia Tenggara dan Asia Pasifik Komnas HAM merasakan dampak dari perubahan politik di Asia Tenggara dalam pelaksanaan kerja-kerjanya. Semoga melalui diskusi kali ini, kita dapat merefleksikan terhadap konteks pekerjaan Komnas HAM dan tantangan pemajuan dan pelindungan HAM di Indonesia saat ini,” kata Atnike Nova Sigiro.

Moderator diskusi Penyuluh HAM Rusman Widodo menjelaskan secara singkat isi buku yang akan didiskusikan. Buku yang diterbitkan pada Juli 2021 oleh penerbit SUKA Press tersebut terdiri atas 13 buah tulisan dan memiliki beberapa bagian yaitu: politik lokal, politik nasional, politik rekonsiliasi, dan politik regional. “Untuk bedah buku kali ini kita akan fokus dibagian politik rekonsiliasi. Bagian politik rekonsiliasi memuat 3 buah judul tulisan yaitu: 1. Politik Rekonsiliasi di Indonesia: Menuntut, Memaafkan, dan Melupakan; 2. Politik Keadilan dan Rekonsiliasi di Masa Pasca Soeharto; 3. Masyarakat Sipil dan Rekonsiliasi Akar Rumput di Jawa tengah,” ujar Rusman Widodo.

Priyambudi Sulistiyanto, selaku penulis buku menjelaskan bahwa buku tersebut dia kontekskan dengan persoalan-persoalan yang sangat penting, salah satunya ialah penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Priyambudi Sulistiyanto menuturkan bahwa gelombang permintaan maaf terhadap kasus pelanggaran HAM yang Berat mengurai persoalan yang rumit. “Ketika Gus Dur menjadi presiden, beliau secara umum mengatakan permintaan maaf terhadap apa yang terjadi pada tahun 1965, 1966, dan seterusnya. Namun gelombang permintaan maaf ini mengurai persoalan yang rumit, dibantu dengan munculnya literatur transitional justice yang berfokus di Afrika Selatan, Amerika Latin, Eropa. Apakah teori dan pelajaran dari negara-negara itu berguna atau tidak untuk Indonesia?” kata Priyambudi Sulistiyanto.

Menurutnya, Indonesia memiliki jalan sendiri dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut. Namun setelah direfleksikan sampai sekarang belum juga terselesaikan semuanya. Dari perjalanan tersebut Priyambudi Sulistiyanto membuat buku ini.

Ketua Komnas HAM periode 2007-2012 Ifdhal Kasim menyampaikan bahwa diawal reformasi kita telah melakukan kampanye untuk mendesak pemerintah untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tujuannya, jika untuk menyeret mereka yang bersalah ke Pengadilan HAM itu tidak mungkin, karena stabilitas politik lebih diutamakan daripada penegakan keadilan.

“Sejak didorongnya Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sampai sekarang menunjukkan bahwa kita tidak ada kemajuan dalam menerapkan keadilan transisi ini. Mengapa? Karena, kita menolak semuanya. Tidak mau mengadili pelaku, dan tidak mau memaafkan, serta tidak mau merehabilitasi korbannya. Permasalahan kita itu tidak hanya pada struktur kekuasaan, tetapi juga pada masyarakatnya. Masyarakat kita kecenderungannya lebih membiarkan: yang lalu biarkan berlalu. Mereka merasa bahwa ini (persoalan pelanggaran berat HAM) akan selesai dengan sendirinya seiring berjalannya waktu,” kata Ifdhal Kasim.


Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Abdul Haris Semendawai menuturkan bahwa buku yang ditulis oleh Priyambudi Sulistiyanto dibagian ketiga tentang politik rekonsiliasi adalah bagaimana pemerintahan yang baru dapat menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu yang terjadi pada rezim sebelumnya. Pada tahun 2000, menurut Semendawai Indonesia telah diberi kesempatan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat dan pelanggaran HAM yang berat masa lalu melalui dua cara -- sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, yaitu: melalui Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, dalam perjalanannya, keinginan untuk mengadili rezim lama melalui Pengadilan HAM tersebut peluangnya sangat kecil.

“Kenapa pemerintahan yang baru sulit mengadili? Pertama, sebagian elit lama yang ada di rezim sebelumnya itu masih menguasai politik. Bagaimana pun kepentingan mereka akan mereka lindungi. Kedua, pemerintahan yang baru dibebani oleh persoalan-persoalan yang berat seperti persoalan ekonomi, pengangguran, resesi, persoalan sosial politik, dan lain-lain. Sehingga penyelesaian melalui jalan rekonsiliasi dinilai lebih mudah dilakukan. Namun rekonsiliasi ini ternyata tidak bisa berjalan, karena KKR nya sendiri dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Abdul Haris Semendawai.

Dalam Undang-Undang KKR, lanjut Abdul Haris Semendawai salah satunya disebutkan bahwa setelah mengungkapkan kebenaran, akan dilakukan rekonsiliasi, kemudian pemaafan dan pemulihan. Namun, kelemahan Undang-Undang ini yang mendasar adalah menggantungkan pemulihan kepada pemaafan. Oleh karena itu, apabila korban tidak memaafkan pelaku, maka pemulihan tidak akan diberikan.

“Setelah kita melakukan judicial review, ternyata ada kelompok lain yang juga mengajukan judicial review. Pada akhirnya bukan pasal yang kita kehendaki untuk dibatalkan itu yang dibatalkan, namun UU KKR tersebut yang justru dibatalkan,” ujar Abdul Haris Semendawai.

Lebih lanjut Abdul Haris Semendawai menyampaikan bahwa Komnas HAM telah menyelesaikan proses penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, namun baru empat kasus yang diadili di Pengadilan HAM. Kasus-kasus lainnya belum masuk tahap penyidikan oleh Jaksa Agung. “Proses proyustisia ini sudah jalan, dan karena proses ini belum selesai maka kasus itu tetap hidup. Dan hal ini memunculkan harapan korban, dan harapan korban ini harus kita jaga,” kata Abdul Haris Semendawai.

Selain itu, Abdul Haris Semendawai mengatakan sekarang muncul persoalan baru ketika beberapa pasal di Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 di masukkan ke dalam KUHP. “Pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 itu jelas disebut bahwa kejahatan pelanggaran HAM yang berat itu tidak mengenal kadaluarsa. Namun ini dimasukkan ke dalam KUHP, yang tentunya KUHP memiliki azas-azas sendiri (ada masa kadaluarsa). Oleh karena itu, Komnas HAM sedang memperjuangkan hal tersebut, yaitu agar mekanisme melalui Pengadilan HAM ini tidak terkendala dengan dimasukkannya ketentuan itu di dalam KUHP,” ujar Abdul Haris Semendawai.

Setelah sesi diskusi bedah buku selesai acara ditutup dengan pemberian plakat dan terbitan Komnas HAM kepada narasumber dan para penanggap. Penyerahan plakat dan terbitan diserahkan secara simbolik oleh Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan HAM Komnas HAM Putu Elvina kepada Priyambudi Sulistiyanto. Lalu pada bagian paling akhir dilakukan sesi foto bersama.

Penulis: Annisa Radhia

Editor: Liza Yolanda, Hari Reswanto

Short link