Kabar
Latuharhary - Perbudakan adalah sistem sosial
masa lalu yang keji dan tidak berperikemanusiaan, bersifat eksploitatif dan
mengakibatkan korban sangat menderita. Dalam perspektif HAM, praktik perbudakan
tidak dapat ditolerir. Di era modern ini, praktik perbudakan masih terjadi.
Perbudakan termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Terkait
hal tersebut, Komnas HAM melalui Tim Kampanye Tanggap Rasa menyelenggarakan
diskusi melalui media daring bertajuk Menyelisik Perbudakan di Era Modern pada
Rabu, 23 Maret 2022. Hadir sebagai narasumber adalah Komisioner Komnas HAM, M.
Choirul Anam; salah satu pendiri Migrant Care, Anis Hidayah; serta Direktur
Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Kemnaker, Yuli Adiratna.
Anam,
sapaan akrab M. Choirul Anam menyampaikan bahwa saat ini praktik perbudakan
sudah berkembang dan tidak seperti dulu. Dijelaskan oleh Anam, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki working group untuk praktik-praktik
perbudakan. Saat ini perbudakan pun sudah berkembang. Mereka menggunakan
istilah "praktik serupa perbudakan". Sedangkan International
Labour Organization (ILO) menggunakan istilah praktik perbudakan modern.
“Beda penyebutan namun spirit dan maknanya serupa,” tegas Anam.
Dalam
Webinar yang dimoderatori secara apik oleh Dena Rachman ini, Anis menyampaikan
di tingkat global ada lembaga yang melakukan kampanye, advokasi, dan penelitian
terkait perbudakan yaitu Walk Free.
Berdasarkan hasil penelitian perbudakan global modern atau Global
Slavery Index, di seluruh dunia pada 2018, sekitar 40,3 juta orang diduga
mengalami perbudakan, yang mana 71% nya adalah perempuan. Bentuk perbudakan
yang terjadi yaitu sebanyak 15,4 juta mengalami perkawinan paksa dan perbudakan
seksual. Selain itu juga ada kerja paksa yang termasuk human trafficking.
“Di
konteks Indonesia sendiri, Indonesia menurut penelitian yang dilakukan Walk
Free dalam Global Slavery Index pada tahun 2018 menduduki posisi yang cukup
jauh di mana diperkirakan ada 1,2 juta WNI baik di dalam dan di luar negeri
yang mengalami perbudakan modern,” terang Anis.
Ia
menambahkan, praktik perbudakan yang terjadi terutama di sektor sawit, sektor
perikanan (Anak Buah Kapal (ABK) terutama kapal ikan), dan sektor domestic
workers atau pekerja rumah tangga. Di tingkat ASEAN, penduduk Indonesia
menempati peringkat pertama paling banyak yang mengalami perbudakan, yang mana
tidak terlepas dari banyaknya buruh migran.
Indikator
yang digunakan dalam penelitian itu adalah bagaimana situasi tersebut terjadi
serta bagaimana negara meresponnya seperti dengan mendorong layanan, adanya
mekanisme pemulihan, dan restitusi. Dalam indeks perbudakan modern ini terlihat
mana saja negara yang upayanya bagus. Indonesia masuk 12 negara yang kurang
serius dalam menghadapi memerangi perbudakan modern.
Yuli
Adiratna kemudian menjelaskan bahwa secara regulasi dalam konstitusi,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 jelas menyebutkan
adanya hak untuk tidak diperbudak. Selain itu, banyak instrumen nasional yang
mengatur terkait hal tersebut. Indonesia pun sudah meratifikasi 8 konvensi
dasar dari ILO. Pada Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang pelindungan
pekerja migran Indonesia pun secara tegas memberi ancaman yang cukup tinggi
untuk pelaku.
Ia
pun menambahkan bahwa bentuk konkrit keseriusan Pemerintah pada isu perbudakan,
“Pada 16 Maret 2022 lalu, Pemerintah juga telah menyerahkan barang bukti
tersangka pelaku penempatan pekerja migran Indonesia secara non prosedural, hal
ini juga merupakan salah satu bentuk keseriusan Pemerintah dalam menangani
permasalahan perbudakan,” jelas Yuli.
Anam
kemudian menjelaskan variasi perbudakan yang terjadi di era modern ini sangat
banyak. Ia mencontohkan adanya praktik penahanan ijazah pekerja, sehingga
pekerja tersebut tidak bisa menentukan nasibnya sendiri, tidak bisa berkembang
dan hal tersebut menjadi kontrol kuat. Ia menegaskan bahwa kejadian tersebut
merupakan praktik serupa perbudakan yang terjadi di banyak sektor.
“Salah
satu contoh kasus yang ditangani Komnas HAM, ada seseorang yang sudah
berprofesi sebagai lawyer dan punya sumpah. Dia mendaftar pada Lembaga
yang menangani kasus, surat-suratnya, ijazahnya, bahkan termasuk sumpahnya juga
ditahan. Kalau seperti itu, instrumen penahanan ijazah atau dokumen-dokumen
yang lain yang pada akhirnya memberikan kontrol yang sangat kuat dan menutup
kemerdekaan untuk menentukan pengembangan dirinya. Jika menggunakan dua
definisi itu, dalam definisi Working Group untuk slavery di United
Nation (UN), itu masuk praktik serupa perbudakan,” tegasnya.
Lebih
dari itu, Anam menyampaikan dalam praktik magang yang merupakan bagian dari
pengasahan keterampilan juga rentan terjadi perbudakan. Dalam praktik magang,
pegawai magang tidak wajib mendapat pengupahan, hanya ada uang saku. Sehingga
perlu dilihat apakah praktik magang yang dilakukan benar-benar magang atau
bekerja dengan kedok magang.
Di
akhir diskusi, ketiga narasumber sepakat bahwa dengan adanya kasus perbudakan
di Langkat baru-baru ini mengingatkan masyarakat dan meletakkan isu perbudakan untuk
dibangun kembali dan perlu diedukasikkan ke semua lini. Harapannya, agar
praktik-praktik serupa tidak terjadi kembali di kemudian hari dan di manapun.
Penulis
: Utari Putri Wardanti
Editor : Sri Rahayu
Short link