Kabar Latuharhary

Diseminasi SNP kepada para Perwakilan Komisi HAM Asia Tenggara

Kabar Latuharhary – Jumlah hak berekspresi yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan meningkat selama pandemi. Peningkatan ini terjadi karena adanya penggunaan internet yang semakin mudah diakses.


Namun, pemerintah harus bertindak tegas terhadap pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti ujaran kebencian dan diskriminasi yang terjadi.


Komnas HAM telah menerbitkan dan merekomendasikan kepada pemerintah tentang penggunaan Standar Norma dan Pengaturan (SNP). SNP dimaksud, sejalan dengan komitmen dan kewajiban negara dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).


Demikian disampaikan oleh Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM, Mimin Dwi Hartono, pada ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) Forum on Freedom Religions and Beliefs (FORB) in ASEAN 2022 yang bertajuk "Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, SDGs, dan Covid-19". Acara ini diselenggarakan secara daring oleh AICHR, Kamis, 29 September 2022.


Mengawali paparannya, Mimin -- sapaan akrab Mimin Dwi Hartono, menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia sejak awal tahun 2020 menyebabkan pembatasan kebebasan atas HAM.  Penurunan penikmatan HAM yang terjadi misalnya menyangkut hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.


“Hak beragama dan berkeyakinan sesuai agama yang dianut merupakan salah satu hak yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selama masa pandemi hak tersebut menjadi dibatasi, khususnya ibadah yang berpotensi menimbulkan kerumunan.  Pembatasan tersebut misalnya, tidak boleh melakukan ibadah di tempat-tempat ibadah”, kata Mimin.


Lebih lanjut Mimin mengungkapkan dengan adanya pembatasan tersebut, teknologi menjadi salah satu strategi yang digunakan untuk memudahkan aktivitas masyarakat, termasuk dalam urusan keagamaan. Hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya jumlah dan akses masyarakat terhadap penggunaan internet, termasuk mengamalkan dan mengekspresikan agama serta kepercayaan melalui media online.


Sejalan dengan hal tersebut, hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi turut mengalami kemunduran. Seiring dengan meningkatnya interaksi sosial di masyarakat melalui media online, serangan digital kemudian menjadi ancaman bagi pelindungan dan penegakan HAM. Dalam Laporan Tahunan Komnas HAM 2021, situasi pelanggaran HAM di ruang siber sepanjang 2020 hingga 2021, mayoritas lokasi peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi, terjadi di ruang digital (52%), seperti di media sosial dan aplikasi percakapan.


“Dalam survei yang dilakukan Komnas HAM pada Juli s.d. Agustus 2020 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, 29% responden mengaku takut mengkritik pemerintah. 36,2% responden mengaku takut mengungkapkan pendapatnya melalui internet/media sosial. Hal ini juga terjadi seiring dengan penangkapan atau kriminalisasi terhadap beberapa individu dan pembela HAM yang kerap mengkritik kinerja pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19,” ungkap Mimin.


Dalam cakupan tersebut, Mimin menyampaikan berdasarkan Pasal 76 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM berwenang memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk dijadikan pertimbangan dan landasan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan agar Kebijakan Penanggulangan Pandemi COVID-19 dilakukan sesuai dengan standar, norma, dan prinsip HAM, serta membahas berbagai permasalahan yang terkait dengan pelindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.


“Komnas HAM telah mengesahkan SNP Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi serta SNP Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang bertujuan untuk memberikan panduan dan penjelasan praktis tentang bagaimana pengemban tugas menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia,” pungkas Mimin.


Penulis : Niken Sitoresmi

Editor : Banu Abdillah

Short link