Kabar Latuharhary

Gerakan HAM Selalu Ada Peluang dan Akan Terus Maju

Kabar Latuharhary – L4Book Club Perpustakaan Komnas HAM menyelenggarakan Bedah Buku “Membuktikan Harapan: Efektivitas Perjuangan Hak Asasi Manusia pada Abad ke-21” yang merupakan terjemahan dari buku “Evidence for Hope: Making Human Rights Work in The 21st Century” karya Kathryn Sikkink. Kegiatan ini berlangsung secara hybrid di kantor Komnas HAM, Jakarta, pada Senin (6 Maret 2023). Turut hadir dalam kegiatan tersebut para Komisioner Komnas HAM, Plt Sekretaris Jenderal Aris Wahyudi, Kepala Biro Dukungan Pemajuan dan perwakilan unit kerja terkait.

L4Book Club merupakan klub buku Perpustakaan Komnas HAM yang memulai aktivitasnya sejak Februari 2022. Diskusi buku bulanan ini dibentuk dengan tujuan untuk menggalakkan minat baca, menumbuhkan budaya knowledge sharing, dan membangun budaya literasi di lingkungan Komnas HAM.

Pada acara kali ini, Komisioner Dukungan Penyuluhan HAM Putu Elvina memberikan kata pengantar sekaligus membuka  diskusi. Putu menyampaikan bahwa mandat terkait penyebarluasan wawasan HAM dan peningkatan kesadaran HAM, merupakan mandat yang luar biasa untuk merubah paradigma bagaimana Lembaga HAM, Aktivis HAM, Pemerintah melihat situasi HAM terkini sebagai bagian dari solusi. Lebih lanjut, Putu berharap melalui bedah buku kali ini dapat memberikan wawasan lebih mendalam yang diberikan oleh para narasumber terkait poin-poin yang menjadi kunci dari buku karya Kathryn Sikkink.

“Buku ini menilai sejauh mana efektivitas HAM yang kemudian dinarasikan diawal mulai dari Arab Spring yang menjadi cikal bakal dan harapan tekait bagaimana HAM itu lebih kodusif, ternyata Arab Spring pun tidak mampu menjawab itu. Penulis buku ini menyatakan diujung bab ada harapan bagaimana orang-orang yang berjuang di isu HAM bisa membumikan HAM dalam konteks literasi,” ucap Putu

Bedah buku ini menghadirkan narasumber Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, dan Konsultan dan Pengajar HAM Anton Prajasto, serta dipandu oleh moderator Penyuluh Komnas HAM Eka Christiningsih Tanlain. Atnike menyampaikan bahwa Indonesia sebagai satu bangsa dan negara yang sudah meng-institusionalisasikan HAM di dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan, mekanisme hingga institusi Komnas HAM memperlihatkan adanya satu kemajuan normatif dan institusional di Indonesia terkait HAM.

“Dari segi normatif, Indonesia maju sekali. Tidak bisa kita bilang Indonesia mengalami kemunduran. Nah itu tidak disebutkan secara langsung oleh penulis Kathryn Sikkink di dalam bukunya. Tetapi kalau mau jadi ukuran, itu sudah kemajuan. Artinya, kalau dibilang tidak ada hak asasi di Indonesia maka itu hal yang salah,” ujar Atnike


Lebih lanjut, Atnike menyampaikan bahwa persoalan terkait hal ini adalah apakah peraturan perundangan yang ada, hukum, mekanisme, institusi yang bekerja untuk hak asasi manusia sudah cukup efektif atau sejauh mana efektivitasnya. “Persoalan ini yang menjadi perdebatan, karena antara apa yang ideal di dalam peraturan perundang-undangan itu kan semua hak asasi dijamin, semua warga berhak atas hak sipil politik. Tetapi kemudian ketika Lembaga seperti Komnas atau organisasi HAM melihat realita di dalam masyarakat kok masih banyak pelanggaran HAM terjadi. Di dalam buku ini juga ditanya mengapa mekanisme yang ada tidak bisa secara absolut atau efektif meminta pertanggung jawaban atas pelanggaran HAM yang terjadi atau pernah terjadi, itu kan mirip sekali dengan pengalaman Indonesia,” kata Atnike

Kesimpulan menarik dari buku ini, lanjut Atnike terdapat pada Bab 7 dengan sub judul Bukti adanya harapan tanpa rasa puas diri yang berlebihan. “Hal menarik yang dapat disimpulkan dari buku ini adalah kita harus selalu melihat bahwa gerakan HAM itu selalu ada peluang dan akan terus maju, tetapi jangan langsung merasa segalanya sudah oke dan kita tidak perlu berpikir kritis lagi, tidak perlu melihat secara hati-hati, kenyataan sosial produk-produk hukum yang ada. Itu yang menurut saya pas banget untuk Indonesia. Jadi, ada harapan tapi jangan terlena bahwa segalanya itu sudah baik,” ungkap Atnike

Anton Prajasto menyampaikan bahwa apabila melihat dari buku karya Kathryn Sikkink, mengapa masyarakat pesimis dengan HAM adalah karena adanya tegangan antara keinginan membongkar dengan paradoks informasi.

“Keinginan membongkan satu sisi itu baik, terus ketika semakin ingin membongkar sampai tidak tau ini jumlah kasusnya memang naik atau sebenarnya penyelidikannya semakin banyak,” kata Anton

Sejalan dengan Anton, Atnike menuturkan bahwa laporan atau informasi mengenai pelanggaran HAM tidak berkurang, justru semakin banyak. Seperti aduan terkait kekerasan seksual, diskriminasi minoritas gender, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, dan lain-lain yang (pada tahun 90an ke bawah) sebenarnya ada tetapi informasi itu tidak mendapatkan perhatian. Faktor-faktor tidak mendapatkan perhatian tersebut bisa karena tidak ada kategorinya dalam hukum, atau dulu karena rezimnya tertutup. Oleh karena itu, lanjut Atnike jangan dilihat pelanggaran HAM semakin banyak, tetapi harus dilihat pengakuan akan adanya bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang semakin luas.

“Apabila melihat dari buku Membuktikan Harapan: Efektivitas Perjuangan Hak Asasi Manusia pada Abad ke-21 ini kita sering melihat tidak adanya kemajuan soal hak asasi, karena cara yang salah dalam melihat dan mengukur kemajuan. Peran dari Gerakan HAM sesungguhnya adalah mengungkapkan situasi atau bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang belum ada kategorinya dulu tetapi sekarang ada. Hal lain dalam mengukur pemajuan HAM, Komnas HAM menerima pengaduan setiap tahun ribuan aduan. Kalau melihat begitu kita akan bilang Komnas HAM itu tidak ada gunanya, tidak bisa menekan kasus di masyarakat. Justru harus dilihat bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk mengadukan hal-hal yang sebelumnya tidak diadukan,” ucap Atnike

Penulis : Annisa Radhia

Editor : Liza Yolanda 

Short link