Kabar Latuharhary

Memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional

Foto: Freepic.com

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 26 Juni sebagai Hari Anti Penyiksaan Internasional. Hal ini dproklamirkan PBB melalui resolusi 52/149 pada 12 Desember 1997, setelah melalui berbagai kampanye, yang diawali dengan Konvensi Menentang Penyiksaan 1987. Hari Anti Penyiksaan Sedunia ini ditetapkan untuk mendukung para korban penyiksaan, bersatu dalam melawan penyiksaan dengan tujuan agar segala bentuk penyiksaan dapat dihapuskan.

Penyiksaan sendiri merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan kepada seseorang. Perlakuan tersebut dilakukan biasanya untuk mencapai suatu tujuan, seperti membuat korban mengaku kesalahan baik yang memang dilakukan, bahkan yang tidak dilakukan. Tindakan penyiksaan ini turut dilakukan untuk mendapatkan informasi, atau untuk menghukum korban.

Perserikatan Bangsa-bangsa menganggap bahwa penyiksaan merupakan salah satu tindakan paling keji yang dilakukan terhadap sesama manusia, karena tindakan tersebut serta merta merendahkan martabat manusia. Pada Pasal 5 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dengan tegas menyatakan bahwa tak seorang pun dapat menjadi sasaran penyiksaan atau diperlakukan secara kejam, mendapatkan perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.

Penentangan terhadap berbagai bentuk penyiksaan pun telah dikuatkan dengan Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Matabat, atau Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT). Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang-undang No.5 tahun 1998, namun praktik penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia masih berlangsung di Indonesia, khususnya terjadi di tempat tahanan maupun di tempat-tempat yang tidak bisa diakses secara terbuka.

Sebagai upaya tindak lanjut UNCAT yang telah diratifikasi Indonesia, 5 Lembaga yang tergabung dalam Kerja sama Untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang salah satunya ialah Komnas HAM sejak 2016 mendorong Pemerintah untuk meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) atau Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan.

OPCAT sendiri berfungsi untuk melengkapi upaya pencegahan penyiksaan yang terdapat pada UNCAT. OPCAT dihadirkan untuk membatu negara-negara dalam melaksanakan kewajiban internasional berdasarkan UNCAT. Dalam hal ini, OPCAT bertujuan untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, dengan membuat sebuah sistem yang terdiri dari dilakakukannya kunjungan berkala ke seluruh tempat penahanan di dalam juridiksi, dan kendali dari Negara peserta. Dan atau dasar kunjungan-kunjungan tersebut, diberikan rekomendasi-rekomendasi dari ahli nasional maupun internasional kepada pihak berwenang dari Negara Peserta mengenai cara memperbaiki Langkah pencegahan penyiksaan.

Hingga saat ini, Komnas HAM diberbagai kesempatan kerap kali menyampaikan pentingnya meratifikasi OPCAT di Indonesia, seperti saat Sidang Dewan HAM ke-52  salah satu isu yang disampaikan ialah ratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Semoga ke depannya, Indonesia dapat segera meratifikasi OPCAT, dan Penyiksaan di Indonesia dan Dunia dapat dihapuskan.

 

Penulis : Annisa Radhia

Editor : Liza Yolanda
Short link