Kabar Latuharhary

Jelang Pemilu, Komnas HAM Antisipasi Politisasi Isu Agama


Jakarta-Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) selalu menjadi pembicaraan publik menjelang tahun politik. Politisasi isu tersebut harus ditangani dengan pemberian pemahaman secara komprehensif. 

“Komnas HAM telah mengeluarkan Standar Norma dan Pengaturan tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (SNP KBB) sebagai inisiatif untuk membuat tafsir resmi dan operasional terkait hak asasi manusia dalam hal ini kebebasan beragama dan berkeyakinan,” jelas Wakil Ketua Internal Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi menjadi narasumber dalam Diskusi Publik yang membahas Al Zaytun: Di Tengah Diskriminasi dan Kriminalisasi yang diselenggarakan Imparsial secara hybrid di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta, Kamis (20/7/2023).


Foto: Wakil Ketua Internal Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi saat menyampaikan pemaparannya dalam Diskusi Publik yang membahas Al Zaytun: Di Tengah Diskriminasi dan Kriminalisasi yang diselenggarakan Imparsial secara hybrid di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta, Kamis (20/7/2023).


Keberadaan SNP KBB ini menjadi pedoman atas pemaknaan, penilaian, dan petunjuk atas kaidah peristiwa terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Isu KBB, jelas Pramono, menjadi isu sensitif dan strategis untuk meraih simpati publik demi kepentingan politik elektoral. Maka, ia menyarankan supaya isu ini dinetralisir oleh penyelenggara Pemilu serta pihak-pihak terkait. 

“Negara seharusnya tidak menggunakan pasal penodaan agama untuk menjerat paham atau penafsiran keagamaan seseorang, kecuali dapat dibuktikan bahwa ajaran tersebut bertentangan dengan moralitas publik dan ketertiban umum, atau mengajarkan penolakan terhadap prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara, atau menganjurkan kebencian, permusuhan dan kekerasan,” ulas Pramono.

Koordinator Program HAM Imparsial Annisa Yudha mengungkapkan, per Januari hingga Juni 2023 ada 11 kasus terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan. "Pemerintah dan aparat penegak hukum cenderung melakukan pembiaran terhadap tindakan-tindakan intoleransi bahkan ikut melakukan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dampaknya korban mengalami viktimisasi berganda dimana ia mengalami diskriminasi kemudian mengalami kriminalisasi," ujar Annisa. (AAP/IW)

Short link