Kabar Latuharhary

Komnas HAM Suarakan Hak Politik Perempuan dalam Pemilu

Jakarta-Pelaksanaan Pemilu 2024 menjadi perhatian khusus Komnas HAM, termasuk di dalamnya kesetaraan hak politik perempuan dalam proses berdemokrasi.


“Pelaksanaan Pemilu bukan hanya sekedar alat legitimasi bagi pembentukan kekuasaan politik," ucap Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat menjadi pembicara dalam Open Mic: Suara Perempuan untuk Pemilu 2024 yang mengangkat tema “Mempertegas Komitmen Negara untuk Pemilu yang Setara, Berkeadilan dan Inklusif” yang diselenggarakan secara daring, Senin (28/8/2023).

Partisipasi politik perempuan, menurut Atnike, menjadi syarat bagi kesetaraan gender dan demokrasi serta sarana untuk memastikan pemajuan dan pelindungan HAM. Demokratisasi di Indonesia setelah reformasi 98 telah membuka akses lebih besar bagi perempuan untuk terlibat dalam proses politik dan pengambilan kebijakan. Meski belum mencapai target, kebijakan kuota 30% turut mendorong peningkatan perwakilan perempuan di legislatif.

Pemilu menjadi sebuah mekanisme yang penting dalam upaya pemenuhan dan pelindungan hak asasi manusia, khususnya hak politik. Hak politik erat kaitannya dengan hak kewarganegaraan yang salah satu praktik dari pemenuhan hak ini dilakukan melalui partisipasi warga termasuk perempuan di dalam Pemilu.

“Kita perlu memastikan bahwa Pemilu yang akan datang akan dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti prinsip universalitas, prinsip non-diskriminasi serta penghormatan terhadap martabat manusia,” ucap Atnike.

Atnike turut menyoroti lahirnya beberapa Peraturan Perundang–undangan yang secara fundamental mengubah prinsip hukum Indonesia. “Misalnya dengan lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Undang-Undang Perkawinan yang telah menghapus legalisasi terhadap perkawinan anak,” jelasnya. 



Ia berharap perempuan harus memiliki kebebasan untuk mengutarakan pandangan dan terlindungi dari kekerasan khususnya kekerasan berbasis gender. “Kita perlu memastikan pemilu adalah pengejawantahan demokrasi dan HAM. Di dalamnya harus mencakup adanya kebebasan berekspresi, berpendapat dan berserikat dan adanya pelindungan bagi minoritas dan kelompok marginal,” terang Atnike. 

Atnike juga mengajak semua pihak untuk memastikan bahwa demokrasi bukan hanya sebatas di masa kampanye, di dalam bilik suara, maupun di parlemen. Atnike menegaskan demokrasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari pemenuhan dan pelindungan hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak perempuan.

Open Mic merupakan salah satu bentuk kolaborasi antara AMAN Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi dan Kalyanamitra.

Turut berpartisipasi memberikan pendapat mengenai keterlibatan perempuan dalam politik, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, Wakil Ketua LPSK Livina Istania DF Iskandar, Wakil Ketua Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy Direktur Eksekutif HRWG Daniel Awigra, Pendiri Padepokan Perempuan GAIA dan Kalyanamitra Myra Diarsi, Peneliti PERLUDEM Usep Hasan, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, dan jaringan masyarakat sipil lainnya, kalangan akademisi serta masyarakat. (DF/AM/IW)

Short link