Kabar Latuharhary

Jadi Perbincangan Nasional, Pelanggaran HAM yang Berat Prioritas Bagi Komnas HAM

Palu-Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Indonesia menjadi perhatian khusus Komnas HAM dan menjadi sorotan untuk isu nasional

“Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Indonesia menjadi satu materi yang selama ini banyak jadi perbincangan nasional,” ucap Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai saat menjadi narasumber Kuliah Umum: "Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia" di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (29/9/2023).

Di Indonesia ada 17 kasus peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014. Seluruh peristiwa tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM.

Dari belasan peristiwa yang telah diselidiki Komnas HAM, Semendawai mengatakan empat peristiwa yaitu, Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura dan Paniai telah memiliki keputusan pengadilan. Meskipun hasilnya belum memberikan keadilan bagi para korban.

Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dapat dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu yudisial dan non yudisial. “Melalui pengadilan jadi penyelesaiannya dilakukan dengan cara diselesaikan melalui pengadilan yaitu pelakunya diproses lewat pengadilan yaitu pengadilan hak asasi manusia kalau di Indonesia,” terang Semendawai.



Dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Semendawai menjelaskan Komnas HAM diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. “Untuk peristiwa pelanggaran HAM yang berat penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM. Tetapi penyidik Jaksa Agung,” ujarnya. 

Sementara itu, pemerintah telah mengupayakan penyelesaian melalui mekanisme non yudisial dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 untuk mengakui terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat. Untuk mewujudkan penyelesaian dan pemulihan yang serius, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 dan Inpres Nomor 2 Tahun 2003.

Semendawai memandang pemulihan kepada korban khusus untuk korban yang ada di Sulawesi Tengah yang akan dilakukan pada awal Oktober 2023 sebagai bentuk konkret dari pemberian pemulihan kepada korban. “Jadi ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah sudah mengakui bahwa korban pelanggaran HAM yang berat. Mereka mengakui bahwa pernah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang berat dan mereka mau memberikan pemulihan kepada korban,” ucapnya.

Semendawai menilai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah merupakan suatu hal kemajuan yang bisa dirasakan oleh korban. “Meskipun demikian, tentunya upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial tetap kita upayakan terus supaya pelaku-pelaku yang paling bertanggung jawab atas peristiwa itu bisa diproses, keadilan korban juga terpenuhi,” lanjutnya.

Komnas HAM sendiri berkomitmen mendorong terwujudnya pemulihan hak korban dengan mengeluarkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM). Rentang tahun 2012-Agustus 2023, Komnas HAM telah mengeluarkan 6.953 SKKPHAM. SKKPHAM  digunakan korban untuk mendapatkan layanan medis dan psikososial dari Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK), maupun lembaga pemerintah terkait yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan sosial.



Kuliah Umum dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum Sulbadana, Wakil Dekan Bidang Akademik Agus Lanini, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Rahmat Bakri, bersama mahasiswa/i.(AM/IW)
Short link