Kabar Latuharhary

Tantangan Komnas HAM dalam Praktik Pengadilan HAM di Indonesia

Yogyakarta-Praktik pengadilan HAM di Indonesia dinilai belum menunjukkan metodologi hukum yang jelas. 

“Pengadilan HAM di Indonesia yang sudah beberapa kali menyidangkan perkara pelanggaran HAM yang berat memperlihatkan ketidakjelasan metodologi hukum di dalam proses peradilan,” ucap Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro saat menjadi narasumber Seminar dan Diskusi Panel Peluncuran Buku: “Metodologi Hukum HAM: Nalar, Praktik dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan Indonesia” yang diselenggarakan oleh PUSHAM Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NHCR) University of Oslo Norwegia, Selasa (12/12/2023).

Metodologi, menurut Atnike merupakan sebuah proses yang sistematis untuk menjalankan dan memprediksi sistem hukum, pelaksanaan, maupun hasil. “Kalau pakai metode yang benar, dengan pendekatan yang positivistik antara alat untuk mengukur perkara dan hasilnya itu dapat diduga, dapat diperkirakan meskipun tidak secara 100 persen,” jelas Atnike.

Faktor politik maupun faktor lain yang memengaruhi proses penegakan hukum dan HAM di Indonesia turut berperan terhadap kasus atau perkara tersebut. Namun, beberapa prosedur maupun aturan mengenai pelaksanaan pengadilan HAM tidak memadai. Misalnya, hukum acara pidana dalam penyelenggaraan pengadilan HAM masih menggunakan KUHP. 

“Hukum acara yang ada tidak mungkin memadai untuk mengungkapkan, membawa tersangka apalagi membuktikan bahwa terdakwa bertanggungjawab terhadap terjadinya pelanggaran HAM yang berat,” terang Atnike.



Dalam pengadilan HAM, Atnike menyebutkan salah satu tantangan yang dihadapi, yaitu adanya perbedaan pandangan antara Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik dalam hal persyaratan formil maupun kesimpulan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kemacetan dari tahapan penyelidikan menuju ke penyidikan.

Komnas HAM menjadi bagian dalam sistem peradilan HAM. Dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM memiliki kewenangan sebagai penyelidik. Sedangkan Kejaksaan Agung sebagai penyelidik. Komnas HAM sebagai penyelidik dugaan pelanggaran HAM yang berat juga mengalami tantangan.

“Salah satu tantangan yang dihadapi Komnas HAM adalah prosedur penyelidikan dimana selama ini ditemui adanya perbedaan pandangan antara penyelidik dan penyidik dalam hal persyaratan formil maupun penyimpulan dugaan pelanggaran HAM yang berat. Misalnya soal alat bukti dan hal-hal teknis prosedural lainnya,” terang Atnike. 

Hal tersebut menimbulkan terjadinya kemacetan dalam tahapan penyelidikan menuju penyidikan

Atnike turut menekankan pentingnya prinsip HAM dalam proses penegakan hukum. Ketika prinsip-prinsip HAM tidak digunakan oleh peradilan, maka dapat dipastikan masyarakat baik individu maupun kelompok akan terlanggar hak asasi manusianya.

Tidak lupa Atnike memberi pesan tentang buku “Metodologi Hukum HAM: Nalar, Praktik dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan Indonesia”. “Buku ini bicara mengenai metodologi hukum hak asasi manusia. Tetapi mengapa buku ini tidak membahas mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia, sistem peradilan HAM di Indonesia. Karena itu sebetulnya dapat menjadi satu gambaran yang sangat jelas betapa yang disebut metodologi hukum di Indonesia tidak jelas,” ucap Atnike.



Dalam keynote speech, Ketua Mahkamah Agung M. Syarifuddin mengapresiasi terbitnya buku tersebut. “Saya ucapkan selamat kepada para penulis Pusham UII dan Norwegian Centre for Human Rights atas diterbitkannya Buku Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan Indonesia. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang setinggi-tingginya bagi dunia akademik, komunitas hukum, dan peradilan di Indonesia,” ucap Syarifuddin. (AM/IW)
Short link