Kabar Latuharhary

Tantangan HAM Bagi Pekerja di Indonesia

Jakarta - Hari Pekerja Indonesia (Harpekindo) diperingati setiap tanggal 20 Februari. Peringatan ini disahkan melalui keputusan Presiden (Kepres) Nomor 9 Tahun 1991. Tujuan diperingatinya Harpekindo adalah untuk menyatukan para pekerja dan buruh  Indonesia.

Keputusan Presiden tentang Harpekindo tersebut menekankan pentingnya para pekerja di Indonesia. “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”, hal tersebut tercantum dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Jaminan atas pekerjaan merupakan hak asasi manusia. Hal itu telah diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Hak atas pekerjaan tidak terlepas dari masalah ketenagakerjaan. Oleh karena itu pembangunan terhadap regulasi ketenagakerjaan harus diatur dengan baik agar hak-hak dan perlindungan terhadap tenaga kerja dapat dipenuhi.

Dalam konteks para pekerja, setiap pekerja berhak atas kondisi kerja yang adil dan baik. Ini mencakup upah yang adil dan remunerasi yang setara, penghidupan layak bagi pekerja dan keluarganya, serta kondisi yang kerja yang aman dan sehat.  Selain itu, pekerja juga berhak mendapatkan peluang yang setara untuk dipromosikan, waktu istirahat yang memadai dan pembatasan jam kerja yang wajar. Hak untuk memiliki hari libur rutin serta remunerasi untuk hari libur publik. Persoalannya muncul ketika sudah ada pengakuan hukum terhadap hak untuk pekerja namun masih banyak pekerja yeng belum mendapat penghidupan yang layak. Contohnya  seperti para pekerja yang berada di lapangan kerja rentan dan dibayar murah.

Masih segar dalam ingatan tentang Omnibus law Undang-Undang tentang Cipta Kerja, walaupun menghadapi penolakan dari berbagai pihak, UU Cipta Kerja tetap berlaku, karena dianggap bertujuan meningkatkan iklim investasi, menciptakan lapangan kerja, dan memperbaiki regulasi yang ada.  Realiasi yang cermat dan inklusif mesti dilakukan, dengan memperhatikan beragam perspektif dan pihak-pihak yang berkepentinganBerkaitan dengan disahkannya UU Cipta Kerja tersebut, Komnas HAM pernah melakukan pengkajian dan penelitian pada 2021 lalu.

Hasil pengakajian dan penelitian Komnas HAM mengungkapkan dan menyimpulkan bahwa UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya belum menginklusi prekariat dalam materi pengaturannya. Akibatnya adalah terjadi pelanggengan kekosongan payung hukum untuk melindungi hak-hak asasi para pekerja prekariat. UU Cipta kerja setidaknya menghapus 5 pasal mengenai pemberian pesangon. Imbasnya pekerja terancam tidak menerima pesangon ketika mengundurkan diri, mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau meninggal dunia.

Negara telah mengabaikan realitas perkembangan ketenagakerjaan dan defisit hukum yang melindungi para pekerja prekariat sebagai salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan. Secara diskriminatif juga mengabaikan keberadaan serta kebutuhan hukum mereka dalam membentuk UU Cipta Kerja.

Dalam Kajian itu, Komnas HAM merekomendasikan Pemerintah RI dan DPR RI untuk melakukan perubahan atas UU Cipta Kerja pada klaster ketenagakerjaan dengan mengakomodir dan memberikan perlindungan hak-hak asasi pekerja di seluruh sektor baik pekerja sektor formal maupun sektor informal, termasuk pekerja prekariat, dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Untuk diketahui, Istilah Prekariat dipopulerkan oleh Guy Standing dalam bukunya The Precariat the New Dagerous Class yang merupakan perpaduan dari precarious (rentan) dan ploretariat (kelas pekerja), atau pekerja yang berada pada kondisi rentan.

Prekariat banyak diartikan sebagai “pekerja yang tidak menentu”. Tidak menentu jam kerjanya, kontrak kerjanya, jaminan kerjanya, bahkan lingkup kerjanya. Istilah ini biasanya merujuk pada pekerja kontrak dan alih daya (outsourching) di sektor manufaktur, dan juga pekerja dengan kontrak tidak jelas di kalangan pekerja kreatif, praktik magang (internship), kerja paruh waktu (part time) dan kerja lepas (freelance).

Penulis : Feri Lubis

Editor : Liza Yolanda 

 

 

Short link