Kabar Latuharhary

Memantau HAM dan Konflik Agraria di Enam Negara Asia

Komnas HAM menjadi salah satu penyelenggara Regional Workshop bertema “Monitoring of lands under conflict - incidence, drivers and impacts” pada 26-27 Februari 2024 di kawasan Jakarta Selatan. 

Kegiatan ini menjadi kolaborasi antara Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development (ANGOC), Land Watch Asia, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bekerja sama dengan Forum Institusi Hak Asasi Manusia Nasional Asia Tenggara (SEANF), Komisi Nasional HAM Filipina (CHRP), Provedoria dos Direitos Humanos e Justica (PDHJ), Global Land Tool Network (GLTN), dan Program Permukiman Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Habitat).

Materi utama workshop regional ini terkait pemantauan konflik lahan serta menyajikan dan mendiskusikan temuan dan rekomendasi laporan pemantauan konflik lahan di enam negara Asia (Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Nepal, dan Filipina). Para partisipan yang terdiri dari elemen NHRIs, CSOs, dan jurnalis bersama-sama mengidentifikasi area tindakan kunci di tingkat regional untuk mengatasi konflik lahan serta menajjaki kemitraan dengan pemangku kepentingan lainnya di wilayah tersebut.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menjadi salah satu pembicara kunci menegaskan, penyelesaian dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam konflik agraria menjadi isu strategis bagi Komnas HAM untuk periode 2022-2027. Komnas HAM pun telah mengidentifikasi akar penyebab pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan lahan dan sumber daya alam.

Atnike berharap para partisipan dalam workshop ini membahas potret dan situasi konflik agraria di enam negara sehingga dapat memberikan kesempatan bagi kerja sama regional dalam merespons dan menangani pendekatan berbasis hak asasi manusia dalam konflik agraria.

“Konflik agraria adalah masalah yang terjadi secara berulang dan cenderung diselesaikan dengan lambat. Ternyata, masalah yang sama terjadi di enam negara yang menjadi fokus lokasi workshop ini. Tingkat konflik agraria berjalan secara eksponensial, namun penanganannya masih sangat sektoral dan birokratis,” terang Atnike.



Tanah dan sumber daya alam (SDA), menurut Atnike, penting untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia (HAM). Tanah dan sumber daya alam adalah bagian penting dari kehidupan dan mata pencaharian manusia untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan, merupakan sumber pekerjaan dan mata pencaharian, sumber makanan dan obat-obatan, tempat tinggal, bagian penting dari keyakinan berbagai agama dan kepercayaan, serta budaya. Maka, persaingan atas kontrol, penggunaan, dan kepemilikan tanah dan sumber daya alam sering menjadi penyebab perselisihan, konflik, dan kekerasan, sehingga menjadi hambatan bagi terwujudnya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, perdamaian, dan pembangunan berkelanjutan.

Pada hari kedua, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Saurlin Siagian memaparkan strategi Komnas HAM untuk memberikan solusi penanganan konflik agraria di Indonesia. Salah satunya mengupayakan sinergi dengan 10 K/L terkait melalui pendekatan reformasi kebijakan agraria karena kewenangan Komnas HAM terbatas, sehingga harus memaksimalkan kewenangan yang ada, juga dengan melihat lembaga berwenang lainnya, misal ATR/BPN dan KLHK untuk mengedukasi terutama hak tenurial dan perspektif dari Negara.

Oleh karena itu, Komnas HAM saat ini sedang merancang "Peta Jalan untuk Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam." Pada tahun kedua, Komnas HAM melalui Tim Agraria  fokus untuk membuat draf peta jalan dan menyelesaikannya pada pertengahan tahun 2024. Peta jalan akan menjadi proposal bagi pemerintahan baru 2024-2029 agar dapat diimplementasikan. (IW)
Short link