Kabar Latuharhary

Komnas HAM Dorong Pariwisata yang Inklusif dan Berkelanjutan

Pariwisata merupakan salah satu wujud pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun demikian ada banyak paradoks saat pelaksanaannya. 

Komnas HAM menyelenggarakan seminar yang bertajuk "Mendorong Pariwisata yang Inklusif dan Berkelanjutan" di Sanur, Bali (18/03/2024). Komisioner Penyuluhan Komnas HAM, Putu Elvina saat membuka acara tersebut menyampaikan pentingnya nilai dan prinsip HAM untuk mewujudkan bisnis Pariwisata yang lebih Inklusif dan Berkelanjutan.

"Tidak boleh ada yang tertinggal dalam berkembangnya pembangunan pariwisata di Bali, inilah prinsip dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan," tegasnya.

Seminar di hadiri oleh hampir 100 peserta dari kalangan pelaku bisnis dan pekerja pariwisata serta masyarakat sipil. Bertindak sebagai narasumber Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, bersama dengan Direktur Yayasan Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu serta COO Eco Tourism Bali, Rahmi Fajar Harini dan Banu Abdillah sebagai moderator. Seminar dilaksanakan sebagai kegiatan pembuka dari Kelas Inspirasi Bisnis dan HAM bagi stakeholders pariwisata di Bali yang akan berlangsung selama 2 hari selanjutnya.

Dalam paparannya Prabianto mengungkapkan bahwa pariwisata merupakan salah satu wujud pengakuan atas hak asasi manusia untuk melakukan perjalanan bebas dan mengekspresikan waktu luang, namun demikian ada paradoks antara pariwisata dengan HAM. "Terdapat dualisme dan potensi konflik hak yang berjalan bersamaan, yakni antara hak setiap orang untuk berwisata dengan hak-hak masyarakat lokal."

Pariwisata tidak lagi dapat dianggap sebagai industri yang bebas dari masalah HAM. Karena pelanggaran HAM seringkali terjadi dalam pembangunan pariwisata di beberapa wilayah di Indonesia. Oleh karenanya penting adanya  komitmen pemerintah, pelaku bisnis pariwisata juga masyarakat sipil untuk bersama-sama mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM ke dalam bisnis pariwisata.  Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM dapat menjadi rujukan untuk mewujudkan pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan. Ini artinya pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan tidak mungkin terwujud bila hak asasi manusia tidak menjadi rujukan.

Paradoks lainnya antara pariwisata dan HAM adalah terkait dengan kesetaraan dan kekerasan seksual kerap terjadi terhadap pekerja perempuan. Hal ini diungkapkan oleh Luh Riniti Rahayu yang menyebutkan banyaknya pekerja perempuan yang mengalami pelecehan seksual baik oleh rekan kerjanya maupun oleh tamu-tamunya (wisatawan).

“Saat pekerja ini melaporkan tindak pelecehan yang dialaminya, dia malah dipecat dari pekerjaannya oleh atasannya sendiri,” ungkapnya.

Berdasarkan data dari UNWTO—United Nations World Tourism Organization pekerja perempuan mendominasi sektor pariwisata, yakni sebesar 55 persen. Hal ini karena pekerjaan dalam dunia pariwisata lebih banyak pada kerja-kerja domestik. Demikian halnya di Bali, pekerja sektor pariwisata didominasi oleh perempuan. Namun demikian pekerja perempuan di Bali masih mengalami diskriminasi terutama terkait dengan upah.   

Kerusakan lingkungan juga kerap dialami oleh daerah-daerah yang menjadi tujuan wisata. Banyaknya wisatawan yang mendatangi Bali ternyata meningkatkan karbon dan sampah. Rahmi mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan bisnis pariwisata akan membawa dampak pada kondisi keadilan sosial di masyarakat.

“Bisnis pariwisata yang hanya berfokus pada profit akan berdampak pada kondisi lingkungan yang pada gilirannya akan berdampak pula pada kondisi keadilan sosial di masyarakat lokal,” tegas Rahmi.

Pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan dapat terwujud apabila para pemangku kepentingan seperti pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat sipil berkomitmen untuk mengarusutamakan HAM dalam pengelolaan pariwisata.

 

Penulis : Banu Abdillah

Editor : Liza Yolanda

 

Short link