Latuharhary – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) prakarsai Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan para tokoh dalam bidang hukum dan HAM dalam rangka merespon rencana pemerintah memasukkan pasal pelarangan penghinaan terhadap presiden ke dalam Rancangan KUHP di Jakarta, Rabu (19/8/2015).
Para pihak yang dilibatkan antara lain Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H. dan Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M. (Komisi Yudisial). Turut hadir pula, sejumlah perwakilan dari berbagai lembaga seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Sementara dari Komnas HAM diwakili oleh Siti Noor Laila (Waka Internal dan pelapor khusus Human Rights Defender/ HRD), Roichatul Aswidah (Waka Eksternal) dan Otto Nur Abdullah (Anggota Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan).
Pasal pelarangan penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan KUHP yang akan dibahas DPR RI, berpotensi menjerat para pembela HAM/HRD dalam tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan pencemaran nama baik serta dikhawatirkan akan melemahkan gerakan para pembela HAM di Indonesia.
“Apakah simbol negara adalah presiden? Ini teori abad 17 dan 18 yang menempatkan kepada negara sebagai simbol negara. Sekarang simbol negara adalah Pancasila, bahkan secara simbolik kepala negara adalah konstitusi. Presiden adalah pribadi-pribadi yang datang dan pergi. Sistem negara inilah yang menjadi the real leadership,” urai Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie S.H., pada kesempatan tersebut.
Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M. dari Komisi Yudisial menyatakan sepakat dengan pendapat Prof. Jimly tersebut. Menurutnya, ketika memahami pasal-pasal dalam KUHP terutama yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, memberikan suatu pemikiran baru bahwa kepala negara selalu memposisikan diri sebagai institusi.
“Sebagai institusi seharusnya mereka tidak mempunyai feeling atau perasaan, oleh karena itu harkat dan martabat kepala negara bersifat fungsional. Apabila dia bersifat fungsional, maka pekerjaan-pekerjaan yang ia laksanakan seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara fungsional. Apabila peran yang dimainkannya tidak lagi sesuai dengan fungsinya bahkan melanggar tugas-tugas yang sudah diembankan kepadanya, maka menjadi hak rakyat untuk mengkritisi atau mengkritik karena rakyat yang telah memilih presidennya melalui pemilihan langsung. Rakyat juga berhak untuk bertanya kepada presiden atau wakil presidennya. Semua dalam rangka penyelenggaraan negara yang baik”, paparnya.
Terkait diskusi ini, Pelapor Khusus HRD Komnas HAM, Siti Noor Laila mengatakan bahwa rencana pemerintah untuk menghidupkan kembali pasal pelarangan penghinaan terhadap presiden ke dalam Rancangan KUHP, akan menjadi pasal karet yang dapat mengancam demokrasi. “Diskusi ini, dapat melahirkan suatu gagasan atau pemikiran bagi Komnas HAM sehingga dapat segera memformulasikan rekomendasi kepada pemnerintah,” tukasnya pada pertemuan tersebut.
Berdasarkan FGD tersebut, telah diformulasikan sejumlah rumusan penting yang harus ditindaklanjuti oleh desk HRD. Pertama, melihat kembali seluruh perundang-undangan yang ada khususnya yang menimbulkan ancaman terhadap para HRD dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap mereka. Kedua, dilakukannya konsolidasi, tidak hanya dengan masyarakat sipil, namun juga lembaga negara produk reformasi dalam rangka menjamin pelaksanaan demokrasi di negara ini. Ketiga rumusan RUU tentang Pembela HAM/HRD yang diajukan kepada pemerintah harus berhati-hati dan komprehensif, tidak hanya mempertimbangkan ketentuan yang terdapat pada UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, namun juga beberapa UU lain yang dapat dijadikan pertimbangan.
Keempat pekerjaan rumah berikutnya adalah segera dibentuk Tim HRD dalam rangka merumuskan rekomendasi ke Komnas HAM untuk disampaikan kepada Tim Perumus Rancangan KUHP dan beberapa pihak terkait. Kelima, persiapan desk HRD guna mengkonsolidasikan data pembela HAM yang saat ini berada dalam tahanan. Kejelasan data ini sangat penting dalam rangka mengajukan grasi ke Presiden RI. Permintaan ini tentu menjadi ranah Ketua Komnas HAM untuk melayangkan surat kepada Presiden RI. (Didi Supandi/ Eva Nila Sari)
Short link