Latuharhary – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan memasukkan materi perlindungan terhadap para Pembela HAM atau Human Rights Defender (HRD) dalam perubahan UU No. 39 Tahun 1999 karena begitu sulitnya mengajukan RUU Perlindungan Pembela HAM dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas), kata Waka Eksternal Komnas HAM Roichatul Aswidah, Rabu (19/8/2015).
Beberapa waktu yang lalu, lanjut Roichatul, memang telah terjadi pembahasan yang kemudian memunculkan dilema apakah RUU Perlindungan Pembela HAM akan berdiri sendiri atau dimasukkan dalam RUU tentang Komnas HAM.
“Untuk menjadi undang-undang tersendiri agak sulit karena tidak masuk dalam prolegnas. Upaya terakhir Komnas HAM adalah mencoba memasukkan pasal-pasal dalam RUU Perlindungan Pembela HAM ke dalam materi perubahan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Berbagai macam pasal dicoba sejauh mungkin dimasukkan ke sana. Rumusan-rumusannya baru minggu lalu dicoba untuk dimasukkan,” jelas Roichatul.
Informasi yang sama disampaikan oleh Siti Noor Laila selaku Waka Internal Komnas HAM. “Terkait RUU HRD, setelah beberapa kali melakukan diskusi, pilihannya adalah memasukkan ke dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM yang telah dilakukan revisi. Komisi III DPR RI menjanjikan akan memproses revisi ini tahun depan. Teman-teman Kontras, Elsam, Imparsial dan LBHI telah kami minta untuk mempersiapkan draft konsep perlindungan HRD,” ungkapnya.
Hingga saat ini, baik menurut Roichatul dan Laila, Komnas HAM masih mencoba untuk mendiskusikan sejauh mana deklarasi Pembela HAM dapat dirumuskan dalam pasal-pasal perubahan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.
Keberadaan undang-undang ini sesungguhnya menjadi pertanyaan banyak pihak khususnya Koalisi Masyarakat Sipil yang selama ini memprakarsai, mendorong dan membutuhkan keberadaan undang-undang ini dalam rangka memberikan perlindungan terhadap aktivitas para Pembela HAM.
“Saya pikir keberadaan undang-undang ini merupakan sesuatu yang penting sebagai bentuk tanggungjawab negara memberikan perlindungan terhadap warga negaranya termasuk Pembela HAM. Ini merupakan salah satu RUU yang sangat penting keberadaannya untuk meng-counter pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi Pembela HAM,” kata Putri dari Kontras.
Penguatan disampaikan Rully Novian S.H., humas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bahwa ketika memasukkan pasal-pasal tentang perlindungan terhadap HRD agar secara tegas menjelaskan hingga ke tataran teknis agar tidak menimbulkan multitafsir di level Penyidik. “Kita contoh UU Lingkungan Hidup. Kalau tidak salah, di pasal 66 menyebutkan tidak dapat dituntut pidana maupun perdata, namun fakta di lapangan tetap terjadi. Jadi ini hanya pasal hiasan saja,” urainya.
Terkait peran LPSK, Waka Internal Siti Noor Laila, sempat mempertanyakan apakah lembaga ini dapat memberikan perlindungan kepada para Pembela HAM yang telah ditetapkan statusnya sebagai tersangka.
“Apabila status sebagai tersangka murni, artinya tidak ada status lain yang dibebankan kepada dirinya, maka LPSK tidak bisa memberikan perlindungan. Namun apabila ia (Pembela HAM) sebagai pelapor tindak pidana, di LPSK sendiri masih menimbulkan multitafsir,” tambah Rully.
Para Pembela HAM adalah orang-orang yang secara individu ataupun bersama orang lain/ kelompok, telah menjadi garda terdepan untuk mempromosikan atau melindungi hak asasi manusia. Jasa mereka yang sangat besar tersebut, kerapkali, justru dimaknai berbeda bahkan oleh negara sekalipun.
Berdasarkan hasil pengamatan Komnas HAM, Pembela HAM di Indonesia kerapkali mengalami pembatasan hak, kekerasan, kriminalisasi, penahanan, penculikan, bahkan penghilangan nyawa yang justru lebih banyak diprakarsai atau bahkan ditenggarai telah dilakukan oleh aparat keamanan dan negara. Dari beberapa catatan kasus, ancaman bagi para Pembela HAM, yang dihimpun oleh Komnas HAM, dapat ditarik kesimpulan bahwa semuanya bermuara pada adanya pengabaian oleh aparat penegak hukum dan pemerintah secara keseluruhan. (Didi Supandi/Eva Nila Sari)
Short link