Kabar Latuharhary

Aliansi Kuningan Dorong Pemenuhan HAM Kelompok Minoritas Agama

Kuningan - Komnas HAM bekerja sama dengan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Yayasan Desantara menggelar acara Sarasehan HAM bagi aparat negara, tokoh agama, dan masyarakat tentang Pemenuhan HAM Kelompok Minoritas Beragama di Provinsi Jawa Barat, 4 s.d 6 Oktober 2015.

Kegiatan ini menjadi satu rangkaian dengan acara Seren Tahun yang merupakan tradisi puncak syukuran masyarakat agraris Sunda yang ditujukan untuk menggalang informasi, mengkomunikasikan persoalan dan memformulasikan penyelesaian atas polemik perlindungan kelompok minoritas agama melalui pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan serta hak atas pendidikan.

“Jangan menyerah menyuarakan persoalan ini agar segera berujung pada solusi karena Indonesia akan menjadi kiblat peradaban yang menghargai perbedaan,” tukas Kiai Maman Imanul Haq, anggota Komisi VIII DPR RI, sebagai pengantar acara sarasehan.

Muhammad Nurkhoiron, koordinator Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, pada sesi berikutnya menyampaikan bahwa hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).  Jaminan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan sangat jelas dinyatakan dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 28 E dan 29 (2) UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Perlu disampaikan kendati telah mendapatkan perlindungan secara konstitusional, pelanggaran hak asasi kaum minoritas beragama kerap terjadi bahkan dalam intensitas yang tergolong signifikan.

Isu ini menjadi sangat penting untuk dibahas di Jawa Barat mengingat provinsi ini telah mencatatkan angka pelanggaran HAM tertinggi untuk kasus hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Berdasarkan laporan tahunan tentang Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (KBB) dan Intoleransi tahun 2014 yang dirilis oleh Wahid Institute dan SETARA, menyebutkan bahwa peristiwa-peristiwa pelanggaran KBB, intoleransi dan diskriminasi baik yang melibatkan aktor negara maupun non negara, paling banyak terjadi di Jawa Barat mencapai angka 55 kasus dari 158 kasus.

Berdasarkan pengakuan salah seorang peserta yang merupakan Jamaah Ahmadiyah, berkaca dari pengalamannya berkunjung ke seluruh kabupaten/kota di kawasan Jawa Barat, Kuningan adalah satu-satunya kawasan yang menolak keberadaan Jamaah Ahmadiyah. “Tolong pikirkan masa depan anak-anak kami. Kami yang tua tua ini sudah tidak lagi penting. Masa depan mereka masih cukup panjang,” tukasnya sambil meneteskan air mata.  

Testimoni lain menyatakan bahwa kelompok penganut kepercayaan mengaku sangat sulit mengupayakan identitas kependudukan untuk anaknya. “Kami dianggap tidak menikah padahal kami telah menikah secara adat. Anak saya dihina di sekolahnya sebagai anak haram. Kami bahkan harus membayar Rp.500 ribu untuk mengurus akte kelahiran di Majalengka ,” ungkapnya.

Pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan memang masih terjadi di bumi Indonesia bahkan dalam intensitas yang cukup tinggi. Pelanggaran tidak hanya terjadi dalam forum internum (kebebasan internal) antara lain pengusiran dan penyerangan terhadap komunitas Syiah dan Ahmadiyah namun juga dalam forum externum (kebebasan eksternal) seperti pelanggaran terhadap penganut agama minoritas antara lain dalam bentuk penyegelan gereja, masjid dan lain-lain.

Kondisi ini masih ditambah dengan berbagai peraturan yang bersifat diskriminatif dan mengekang semisal terkait pencatatan sipil (data kependudukan). Begitu banyak penganut agama lokal atau agama asli nusantara (kelompok minoritas beragama), di luar tujuh agama yang diakui pemerintah, tidak dapat mencatatkan nama agamanya di KTP. Akibatnya, mereka kesulitan dalam mengakses fasilitas yang disediakan negara seperti pembuatan kartu BPJS, SIM, Paspor, Akta Kelahiran, membuka rekening di bank dan lain-lain.

Tidak teraksesnya data-data mereka di pencatatan sipil, bahkan telah mengakibatkan mereka kesulitan mengakses fasilitas pendidikan, kesehatan, bantuan sosial dan lain-lain. Alhasil hak mereka atas pendidikan tak dapat terpenuhi. Tanpa pendidikan yang memadai, maka peluang mencapai masa depan yang gemilang menjadi jauh dari jangkauan. (Eva Nila Sari)
Short link