Kabar Latuharhary

Hasyim Muzadi : Saya Bersedia Melakukan Advokasi Untuk Masyarakat

Latuharhary – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) yang juga mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama Kyai Haji Ahmad Hasyim Muzadi menegaskan kesediaannya untuk memberikan advokasi bagi perlindungan masyarakat khususnya para korban pelanggaran HAM pada pertemuan dengan jajaran Pimpinan dan Anggota Komnas HAM di ruang pleno utama Komnas HAM, Selasa (9/2/2016).

Kedatangan pria yang menjabat Anggota Watimpres sejak 19 Januari 2015 ini bertujuan untuk menanyakan kepada Komnas HAM perihal kelanjutan penanganan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang berat. “Hal ini saya pandang penting untuk ditanyakan mengingat dalam dua kali kunjungan saya ke Jenewa, pembicaraan mengenai HAM di Indonesia masih sangat intens. Termasuk masalah yang menyangkut dengan International Court Justice. Meski Indonesia tidak menjadi anggota, tetapi gerakan internasional telah masuk ke Indonesia dan memotret kondisi HAM Indonesia dari sudut pandang mereka. Isu HAM berat masih menjadi topik pembicaraan hangat,” ungkapnya.

Sebagaimana telah diberitakan oleh sejumlah media, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, pada 15 s.d. 18 Juni 2015 telah memberikan penjelasan tentang posisi HAM di Indonesia dalam sidang Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Markas PBB di Jenewa, Swiss. Ia menjelaskan tentang posisi hak asasi manusia di Indonesia dalam perspektif konstitusi, agama, budaya, dan sistem hukum di Indonesia. Beliau datang ke Jenewa atas undangan Dewan HAM PBB.

Lebih lanjut Hasyim menambahkan bahwa ia perlu mengakses sejumlah keputusan Komnas HAM mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah ditangani mengingat pihaknya lebih banyak mendengarkan dari sudut pandang pihak di luar Komnas HAM . “Bagaimana posisi Komnas HAM pada sejumlah isu strategis, bagi saya sangat penting sebagai bahan pembahasan di Watimpres dan untuk disampaikan kepada publik. Mudah-mudahan dengan penjelasan ini, akan membuka solusi terbaik bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat khususnya kasus 65. Khusus kasus 65, masih terbelit polemik akibat perbedaan persepsi. Dinamika di luar kerapkali berkembang menjadi perselisihan. Saya berharap mendapatkan informasi dari sudut pandang HAM,” paparnya.

Ketua Komnas HAM Nur Kholis menyampaikan bahwa pihaknya selama ini telah membangun jaringan, baik di level nasional, regional maupun internasional. “Kita telah menjadi inisiator pendirian SEANF di level regional, tergabung dalam APF di level kawasan Asia Pasifik dan menjadi bagian dari ICC selaku organisasi HAM dunia,” urainya.

Wakil Ketua Eksternal Roichatul Aswidah menambahkan bahwa Komnas HAM bekerja berdasarkan konstitusi dan Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Komnas HAM, menurutnya, tidak akan membawa kasus ke level internasional selama Pemerintah Indonesia masih mengupayakan langkah penyelesaian. “Komnas HAM merupakan bagian dari Dewan PBB. Sejauh ini belum ada mekanisme apapun yang mengatur penyelesaian kasus HAM pada level internasional, sehingga Komnas HAM belum pernah membawa kasus HAM apapun untuk diselesaikan pada level PBB,” urainya lebih lanjut.

Terkait isu ini, menurut Roi, Indonesia tidak dapat semata-mata mengadopsi mekanisme penyelesaian di negara lain karena konteks masalah masing-masing negara yang berbeda. “Jalan penyelesaian terbaik adalah melalui konsesus nasional antara lain melalui mekanisme rekonsiliasi. Oleh karena itu Komnas HAM telah melakukan upaya pertemuan dan komunikasi yang intensif dengan NU, TNI dan korban,” tukasnya.

Lebih lanjut, diakui bahwa begitu banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah diselesaikan penyelidikannya oleh Komnas HAM namun belum menemukan jalan penyelesaian terlebih memberikan rasa keadilan kepada para korban. “Saya berharap Watimpres dan Komnas HAM dapat berkoordinasi dan segera mencarikan solusi terhadap penyelesaian masalah-masalah bangsa ini,” kata Anggota Komnas HAM Hafid Abbas.

Perlu diketahui, bahwa terkait penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, belum mengalami perkembangan apapun. Setidaknya terdapat tujuh hasil penyelidikan Komnas HAM yang belum juga ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung, yaitu Kasus Peristiwa 19651966; Peristiwa Penembakan Misterius 19821985; Peristiwa Talang Sari di Lampung 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II; dan Peristiwa Wasior dan Wamena 2003.

Selain itu, sesungguhnya Komnas HAM telah sekian lama meminta dukungan terhadap penyelesaian kasus penghilangan orang secara paksa. Dukungan yang diharapkan adalah rekomendasi DPR RI kepada Presiden RI untuk segera membentuk Pengadilan HAM ad hoc melalui Keputusan Presiden. Sayangnya dukungan ini ternyata tidak pernah didapatkan. Sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Aceh juga telah menjadi target penyelidikan Komnas HAM, demikian pula dengan penerapan daerah operasi militer di daerah Papua yang telah menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Selain kasus-kasus tersebut yang telah dan berpotensi dinyatakan sebagai kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, terdapat sejumlah kasus pelanggaran HAM aktual yang juga menuntut upaya penyelesaian dari pihak-pihak terkait antara lain pengungkapan kasus pembunuhan Munir, penanganan Poso dan pendekatan kepolisian, penanganan persoalan buruh migran, tentang hukuman mati, tentang jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, sengketa agraria, tindakan penggusuran, perlindungan hak-hak buruh, kebakaran hutan, persoalan Lapindo, pengungsi Rohingnya, rentannya keselamatan para Pembela HAM akibat pengabaian oleh negara, kriminalisasi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan perbudakan di Benjina.

Apabila semua kasus pelanggaran HAM ini, terutama kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang menyita perhatian publik, dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian, tak tertutup kemungkinan akan terbuka celah masuknya mekanisme internasional sebagaimana yang diatur dalam prinsip-prinsip dasar Piagam PBB, Dewan Keamanan dan Statuta Roma. (Eva Nila Sari).
Short link