Pendidikan dan Penyuluhan

"Inisiasi Yogya" untuk Pendidikan Berparadigma Pancasila

Pergerakan intoleransi, radikalisme dan ekstremisme telah mulai mengakar baik secara struktural maupun kultural di lembaga pendidikan begitu masif sehingga memengaruhi kelompok generasi muda. Namun, upaya pencegahan dan penanganannya masih parsial sehingga hasilnya tidak berdampak signifikan.

Situasi tersebut terpetakan dalam Sarasehan “Pendidikan Berparadigma Pancasila” yang diadakan oleh Komnas HAM dan beberapa lembaga mitra di Yogyakarta, pada Rabu 14 Februari 2018.

Yogyakarta, yang selama ini dikenal sebagai kota pelajar, barometer pendidikan di Indonesia dengan toleransi masyarakatnya yang tinggi, juga terpengaruh oleh massifnya perkembangan sikap dan tindakan yang mengarah pada intoleransi, hate speech, radikalisme dan ekstremisme, bukan hanya di lingkungan masyarakat umum namun juga di lingkungan pendidikan.

Oleh karenanya, Komnas HAM bersama dengan AMAN Indonesia, SETARA Institute dan PaPPIRus, bersama menginisiasi gagasan “Pendidikan Berparadigma Pancasila” yang diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk upaya pencegahan intoleransi dan radikalisme dengan mengembalikan nilai-nilai Pancasila bagi generasi muda sejak pendidikan usia dini.

Bagi Komnas HAM, gagasan tersebut sejalan dengan salah satu program prioritas lembaga tahun 2017 – 2022 pencegahan intoleransi dan radikalisme serta program “Sekolah Ramah HAM” yang menginternalisasikan nilai-nilai HAM dalam seluruh aspek sekolah serta menempatkan nilai-nilai Pancasila sebagai satu kesatuan ibarat dua sisi mata uang tak terpisahkan dengan nilai-nilai HAM universal.

Sarasehan menghadirkan tiga orang narasumber. yaitu Halili (Peneliti Senior SETARA Institute), Beka Ulung Hapsara (Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Komnas HAM) dan RM. Ki Priyo Dwiarso (Sekretaris Majelis Luhur Taman Siswa).

Halili memaparkan data penelitian SETARA Institute tentang kompleksitas persoalan sekolah dan radikalisasi. “SETARA Institute mencatat bahwa persoalan intoleransi di lingkungan sekolah terjadi dalam hubungan sosial keagamaan dan ruang-ruang privat siswa yang seringkali dipengaruhi oleh pandangan/keyakinan pribadi guru, dampak sosial politik diluar sekolah serta media-media online/sosial, termasuk pengkaderan-pengkaderan yang dilakukan baik oleh alumni maupun pihak-pihak diluar sekolah yang seringkali tidak terfilter oleh pihak sekolah,” papar Halili.

Disisi yang lain, Beka Ulung Hapsara Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM menguatkan hasil penelitian SETARA Institute dengan mengkaitkan munculnya persoalan intoleransi dan radikalisme yang terkait erat dengan persoalan kesenjangan pembangunan di berbagai bidang untuk wilayah Jawa – Luar Jawa maupun Kawasan Barat Indonesia – Kawasan Timur Indonesia.

“Mengacu dari Laporan Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama Komnas HAM tahun 2016, tindakan ancaman atau intimidasi dengan mengatasnamakan agama kepada kelompok keagamaan meningkat dari tahun ke tahun,” ujar Beka.

Beka juga mengulas riset INFID tahun 2016 tentang “Persepsi dan Sikap Anak Muda terhadap Radikalisme dan Ekstrimisme Kekerasan”, riset ALVARA research center tahun 2017 tentang “Potensi Radikalisme di Kalangan Profesional Indonesia”, riset SMRC tahun 2017 tentang “NKRI dan ISIS: Penilaian Massa Publik Nasional” serta riset PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017 terkait “Api dalam Sekam: Keberagaman Gen Z: Survei Nasional tentang Sikap Keberagaman di Sekolah dan Universitas di Indonesia.”

Secara umum, menurut Beka, kondisi intoleransi dan radikalisme berkembang begitu massif di sekolah dan terus meningkat sejak tahun 2015. Kondisi tersebut menjadi dasar bagi Komnas HAM menetapkan persoalan ini menjadi prioritas program,” jelas Beka.

Sementara itu, RM Ki Priyo Dwiarso menegaskan filosofi pendidikan yang telah ditanamkan Ki Hadjar Dewantara sejak 1922 melalui Taman Siswa. Menyikapi persoalan intoleransi dan radikalisme yang berkembang, menurut Ki Priyo, disebabkan karena sekarang banyak generasi muda yang kehilangan orientasi kebangsaannya, diibaratkan sebagai anak kecil yang dalam kesendirian mengalami mati lampu di rumahnya.

“Anak itu kebingungan mencari kunci rumah yang diperkirakan berada di luar rumah, namun semuanya tidak cocok dengan kunci rumah yang hilang. Karena kurang pengarahan, sebetulnya si anak bisa dengan mudah menemukan kunci yang masih tetap tersimpan di dalam rumahnya sendiri yaitu Pancasila,” ujar Ki Priyo Dwiarso.

Menurut Ki Priyo, Pancasila ibarat bilangan penyebut yang sama dalam beragam bilangan pecahan, sebagai common denominator jiwa Kebangsaan. Artinya, persoalan intoleransi dan radikalisme dapat dicegah dan ditangkal dengan Pancasila dan jiwa kebangsaan itu sendiri.

Sarasehan yang berlangsung dari pagi hingga siang itu berakhir dengan kesepakatan yang selanjutnya diberi nama INISIASI YOGYA dengan menempatkan sekolah sebagai ruang strategis dengan keberagaman yang ada sebagai titik awal sebuah pendidikan yang multikultural, dimana Pancasila dan Hak Asasi Manusia sebagai dasar. Peran sekolah khususnya guru adalah subjek utama yang harus disiapkan sebagai penghantar, fasilitator sekaligus teladan dalam proses tersebut.

Selanjutnya, ketigapuluh lembaga yang terwakili dalam sarasehan sepakat untuk bersama-sama ”menggeser perspektif” dari perspektif masing-masing sektoral menjadi perspektif bersama melahirkan pemikiran-pemikiran konseptual, strategi, metode/pendekatan dan kesepakatan kerja bersama (networking) sebuah “Pendidikan yang Berparadigma Pancasila.” (Adoniati Meyria)
Short link