Kabar Latuharhary

Komnas HAM Soroti Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme

Menyikapi Perpres Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Komnas HAM menyampaikan sikapnya di hadapan puluhan jurnalis di Ruang Asmara Nababan pada Rabu (5/9).

Pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana teorisme adalah akibat lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Hadir memberikan pernyataan yakni M. Choirul Aman selaku Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, didampingi oleh Agus Suntoro (Peneliti) dan Alvin Nicola (Asisten Peneliti).

Menurut Komnas HAM, secara umum, UU No. 5/2018 masih mempertahankan konsep criminal justice system atau sistem peradilan pidana (SPP) dalam penanganan tindak pidana terorisme yang mengedepankan proses hukum dan menunjung tinggi hak asasi manusia. Serta berupaya memberikan perlindungan terhadap korban untuk mendapatkan kompensasi.

"Namun faktanya, masih menyisakan persoalan dengan membuka peluang terhadap pelibatan militer dalam penanganan tindak pidana terorisme," ujar Anam. 

Meskipun secara norma dan hierarki peraturan perundang-undangan tidaklah tepat, melalui Pasal 43 menetapkan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) dapat dikerahkan dalam memerangi tindakan terorisme. Bagian dari undang-undang baru ini, mencuat seiring “promosi” pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan Militer (Koopsusgab), yang melibatkan pasukan khusus tentara, korps marinir, dan korps khusus angkatan udara. 

M. Choirul Anam juga menyoroti proses penyusunan Perpres yang dinilai tertutup, karena lebih dari tiga bulan sejak pengundangan UU Nomor 5/2018, publik tidak mengetahui progres penyusunan Perpres itu. "Padahal seharusnya terbuka karena menjadi titik krusial yang harus berpegang kepada prinsip-prinsip hukum dan HAM," tegas Anam.

Keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bisa berbahaya bagi masyarakat jika melewati batas-batas kewenangannya. Oleh karena itu, Komnas HAM mendorong agar Indonesia memiliki tentara yang profesional, yaitu patuh terhadap hukum, profesional dan memahami tugas funsginys dalam negara demokratis.
 
"Pelibatan TNI dalam operasi pemberantasan terorisme dalam pandangan Komnas HAM harus didasarkan dalam keadaan yang sangat diperlukan dan dilaksanakan secara proporsional. Pengaturan pelibatan TNI dalam memberantas terorisme perlu diatur baik secara ruang lingkup, tingkatan bahaya (skala ancaman), cara penggunaan kekuatan yang digunakan dan kerangka waktu penempatan TNI," jelas Anam.

Lebih jauh Anam menegaskan bahwa “pengerahan" angkatan bersenjata dalam menanggapi ancaman keamanan domestik dapat dibenarkan dalam kasus-kasus tertentu. Namun, perluasan penempatan militer dalam konteks pemolisian sipil dapat berpotensi membawa risiko serius dalam pelanggaran hak asasi manusia. 
 
Berdasarkan pertimbangan tersebut dan dalam kerangka untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemenuhan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia terkait penanganan tindak pidana terorisme, Komnas HAM mendorong agar Pemerintah mengambil langkah-langkah serius untuk mengatur mekanisme pelibatan TNI selama operasi pemberantasan terorisme secara tepat.

"Hal ini dilakukan melalui, pertama,  keterbukaan dalam proses penyusunan Perpres, termasuk menetapkan standar dan mekanisme yang jelas dibawah koordinasi supremasi sipil agar transparan dan akuntabel," papar Anam.

Kedua, lanjut Anam, efektivitas pembentukan tim pengawas pelaksanaan pemberantasan terorisme oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI harus partisipatif.
 
Komnas HAM RI selama ini sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah aktif melakukan pengawasan tersebut, memberikan koreksi terhadap penindakan kasus terorisme secara lebih tepat dan terukur sesuai dengan prinsip kesetaraan, akuntabilitas dan keadilan. (Asun)

Short link