Kabar Latuharhary

Kesimpulan Penyelidikan Komnas HAM atas Peristiwa Rumah Geudong dan Pos-pos Sattis Lainnya di Aceh

Tim Penyelidikan  Proyustisia Peristiwa  Rumoh  Geudong dan  Pos  Sattis Lainnya di Aceh menyampaikan hasil penyelidikannya ke publik pada Kamis (7/9) di kantor Komnas HAM di Jakarta Pusat. 

Hadir menyampaikan hasil penyelidikan itu yakni Ketua Tim Penyelidikan Moh. Choirul Anam disertai oleh anggota lain, yaitu Ahmad Taufan Damanik, Amiruddin, dan Munafrizal Manan.

Berkas penyelidikan itu sendiri telah dikirimkan kepada  Jaksa  Agung R.I pada 28 Agustus 2018. Hal ini sesuai  dengan  ketentuan  Pasal  1  angka 5  juncto  Pasal  20  ayat  (1)  Undang-Undang  Nomor  26  Tahun  2000  tentang  Pengadilan  Hak Asasi  Manusia,  dimana  Komnas  HAM  wajib  meneruskan  hasil  penyelidikan  proyustisianya kepada  Jaksa  Agung  untuk  ditindaklanjuti  dengan  penyidikan  dan penuntutan. 

Peristiwa  Rumoh  Geudong  dan  Pos  Sattis  Lainnya terjadi  di  masa  Aceh  dalam  status  Daerah  Operasi Militer  (DOM)  pada  1989–1998.  Di  dalam  pelaksanaan  DOM  pada saat itu,  Pemerintah  RI  melalui Panglima  ABRI  memutuskan  untuk  melaksanakan  Operasi  Jaring  Merah  (Jamer)  yang menjadikan  Korem  011/Lilawangsa sebagai  pusat  komando  lapangan.  

Pelaksanaan  Operasi Jamer  dilakukan  dengan  membuka  pos-pos  sattis  di  beberapa  wilayah  di  Aceh.   Pos  Sattis  yang  utama  adalah  Rumoh  Geudong  di  Bilie  Aron,  Kec.  Glumpang  Tiga,  Kab. Pidie,  hal  ini  ditengarai  juga  karena  di  lokasi  ini  yang  paling  banyak  korbannya.  

Setelah Komnas HAM melakukan  penyelidikan  mendalam  atas  65  orang  saksi, Komnas HAM  menyimpulkan  bahwa  pada Peristiwa Rumoh  Geudong  dan  Pos-pos  Sattis  lainnya telah  memiliki  bukti  permulaan  yang  cukup atas  dugaan  terjadinya  Kejahatan  Terhadap  Kemanusiaan  sebagaimana  yang  diatur  dalam Pasal  7  huruf  b  jo  Pasal  9  Undang-undang  Nomor  26  Tahun  2000  tentang  Pengadilan  Hak  Asasi Manusia. 

Adapun bentuk perbuatannya adalah perkosaan  atau  bentuk-bentuk  kekerasan  seksual  lain  yang  setara   penyiksaan, pembunuhan, perampasan  kemerdekaan  atau  perampasan  kebebasan  fisik  lain  secara  sewenangwenang  yang  melanggar  (asas-asas)  ketentuan  pokok  hukum  internasional dan  penghilangan  orang  secara  paksa.   

"Kelima  tindakan  kejahatan  yang  tersebut  di  atas  merupakan  perbuatan  yang  dilakukan  sebagai bagian  dari  serangan  yang  ditujukan  secara  langsung  terhadap  penduduk  sipil  sebagai pelaksanaan  dari  kebijakan  penguasa  masa  tersebut  yang  dilakukan  secara  sistematis  dan meluas," papar Choirul Anam. 

Berdasarkan  rangkaian  kejahatan  yang  terjadi  serta  keterangan  dari  saksi  dan  dokumen yang  ada,  maka  diduga  bahwa  penanggung  jawab  dalam  Peristiwa  Rumoh  Geudong, namun  tidak  terbatas pada  jabatan-jabatan  (pada  periode 1989 – 1998), diantaranya Komandan  pembuat  kebijakan  dan  komandan  yang  mempunyai  kemampuan pengawasan yang  efektif, Komandan  Kesatuan  yang  Dapat  Dimintai Pertanggungjawaban  sebagai  Pelaku  Lapangan  dan Pihak  Sipil  Yang  Dapat  Dimintai  Pertanggungjawaban,  diantaranya para  Tenaga  Pembantu Operasional/ cuak,  Ketua Regu  Pos Kamling,  dan  keuchik  Gampong  Ulee  Tutue. 

"Dengan  telah  dikirimkannya  Laporan  Penyelidikan  Proyustisia  atas  Peristiwa  Rumoh Geudong  dan  Pos  Sattis  Lainnya  di  Aceh  kepada  Jaksa  Agung  ini,  maka  kami  berharap proses  selanjutnya  dari  laporan  ini  berjalan  dengan  baik  dan  segera  diajukan  ke Pengadilan sebagaimana  yang  ditetapkan  dalam  Undang-undang  No.  26  Tahun  2000 tentang  Pengadilan  HAM," tegas Anam.  

Hal  ini, kata Anam,  untuk  menjawab  hak  atas  keadilan  dan agar tidak terjadi  keberulangan  peristiwa yang sama. (KH)

Short link