Kabar Latuharhary

Komnas HAM, LIPI dan Imparsial tolak Dwifungsi TNI

Wacana kembalinya perwira atau pimpinan militer pada urusan sipil menuai banyak respon di masyarakat. Hal inilah yang mendorong Komnas HAM mengadakan Diskusi Publik bertemakan “Quo Vadis Reformasi, Kembalinya Militer Dalam Urusan Sipil”, di Ruang Pleno Utama Komnas HAM RI, Jakarta Pusat, Jumat (01/03/2019).

Kegiatan diskusi publik ini turut  menghadirkan Prof. Syamsuddin Haris (Peneliti LIPI) Letjen Purn. Agus Widjojo (Gubernur Lemhanas) dan Al-araf (Direktur Imparsial) sebagai narasumber.

Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengungkapkan, sejak awal kekuatan politik-sipil tidak memiliki visi, agenda dan skema yang jelas tentang posisi militer dalam sistem demokrasi pasca Orde Baru.

“Kekuatan politik-sipil yang tidak memiliki visi, agenda dan skema yang jelas inilah yang menciptakan munculnya pola kompromistis dalam hubungan sipil-militer yang membuka wacana masuknya TNI ke institusi sipil,” ungkapnya.

Menurutnya, Presiden Joko Widodo semestinya lebih tegas menolak wacana penempatan TNI aktif  ke jabatan-jabatan sipil.

Sementara itu, Gubernur Lemhanas, Agus Widjojo menyampaikan penempatan TNI aktif ke jabatan-jabatan sipil merupakan masalah teknis yang sebaiknya tidak dibawa menjadi masalah nasional.

“Masalahnya kan lebih ke teknis, yakni kelebihan perwira yang non job, penyelesaiannya haruslah sesuai dengan undang-undang, “ujar Agus Widjojo.

Lebih lanjut Agus menjelaskan bahwa tentara itu di bawah supremasi sipil. Dalam sistem politik masyarakat butuh pemimpin, padahal demokrasi tidak menjanjikan pemimpin yang sempurna.

“Jabatan-jabatan seperti kepala daerah atau presiden dipilih oleh rakyat dalam sistem demokrasi. Sedangkan, militer tidak dipilih oleh rakyat sehingga militer tidak dapat mengambil kebijakan publik,”papar Agus Widjojo.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Choirul Anam menyetujui mengenai peta roadmap TNI yang belum ada atau belum berjalan.

“Dalam aktualisasi di lapangan, TNI lebih mengedepankan pragmatisme. Karena itu tidak mengherankan kalau TNI sudah menandatangani 30-an nota kesepahaman dengan kementerian atau lembaga untuk pelibatan TNI dalam urusan sipil, “jelas Anam.

Sementara ketika militer dimintai keterangan saat Komnas HAM mengusut suatu kasus, yang kooperatif dari pihak militer hanya segelintir orang.  Menurut Anam, hal ini menunjukkan gagalnya reformasi di tubuh TNI.

Direktur Eksekutif Imparsial Al A'raf berpandangan pelibatan TNI dalam urusan-urusan sipil merupakan hal yang sangat disayangkan.

“Basis dasar militer dipersiapkan untuk perang. Selain perang bisa dilakukan dengan mengacu pada Pasal 47 ayat (2) dan kebijakan politik presiden. Ketika presiden menilai ada keterlibatan personil TNI maka presiden mengasumsikan itu sementara bukan permanen, “ ungkap Al A’raf. *(Agus/Elga)
Short link