Kabar Latuharhary

Perhatian Komnas HAM atas Hak Pendidikan Para Pengungsi

Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik mengikuti dan menyampaikan materi di dalam Rapat Koordinasi Khusus (Rakorsus) tentang Hak Pendidikan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia yag diselenggarakan Kemenko Polhukam bersama IOM bertempat di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, tanggal 21 Maret 2019. Bersama dengan Kemenko Polhukam, Kemenko PMK, Kementerian Pendidikan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM serta badan internasional IOM, UNHCR, Ketua Komnas HAM memberikan masukan dalam perspektif HAM. Selain dari wakil-wakil pemerintah pusat, peserta kegitan juga melibatkan wakil UNHCR, IOM termasuk dari beberapa kantor daerah, beberapa Kepala Daerah mau pun yang mewakili daerah-daerah yang didatangi pengungsi dan pencari suaka serta masyarakat sipil.

Menurut Taufan, meski Indonesia belum meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of Refugees), dan Protokol tahun 1967 tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees 1967, Indonesia terikat ke dalam berbagai instrumen HAM dan standar internasional yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan BUdaya, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak mau pun instrumen internasional lainnya. Sejalan dengan Internatonal Customary Law mau pun Konvensi Anti Penyiksaan yang sudah menjadi bagi dari hukum nasional kita, maka Indonesia terikat kepada prinsip non refoulement dimana pengungsi (refugee) atau pencari suaka yang datang dari negara lain ke Indonesia tidak bisa ditolak mau pun dikembalikan ke negara asal bila pengungsi tersebut mengalami ancaman di negara asalnya.

Sementara itu, menurut UNHCR mau pun lembaga internasional lainnya tren global menunjukkan peningkatan jumlah pengungsi mau pun pencari suaka diakibatkan konflik berkepanjangan di Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, misalnya di Myanmar terjadi peningkatan pelarian dan pengungsian besar-besaran dari etnis Rohingya dan etnis minoritas lainnya akibat mengalami kekerasan, persekusi bahkan praktek genosida di negara asalnya. Meski Indonesia bukan lah negara tujuan akhir bagi pengungsi dan pencari suaka, namun sebagai negara transito, jumlahnya juga kian meningkat. Angka terakhir yang dikeluarkan UNHCR berkisai 14.000 jiwa dari berbagai negara yakni Suriah, Somalia, Iran, Irak, Afghanistan, Sri Lanka, Myanmar dna lain-lain. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah mengingat konflik di negara asal masih terus berlangsung, sebaliknya kemajuan di Indonesia juga menyebabkan daya tarik bagi pengungsi dan pencari suaka untuk menuju Indonesia.

Sebagai negara yang konsen dengan hak asasi manusia, sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan yang diyakini bangsa Indonesia, maka sudah semestinya standar internasional dan prinsip hak asasi manusia dipakai di dalam menerima kedatangan pengungsi dan pencari suaka. Sejalan dengan prinsip tersebut, meski belum meratifikasi Konvensi Pengungsi, maka Indonesai mengeluarkan Perpres No. 125 tahun 2016 mengenai Penanganan Pengungsi Luar Negeri.

Ketua Komnas HAM Tekankan Standar Hak Asasi dalam memenuhi Hak Pendidikan 
Dalam presentasinya berjudul “Hak Pendidikan bagi Pengungsi Luar Negeri di Indonesia dalam Perspektif HAM”, Ketua Komnas HAM meminta pemerintah untuk segera merevisi Perpres 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri. Meski merupakan langkah maju mengakomodasi kebutuhan pengungsi dan pencari suaka (refugee dan asylum seeker), secara khusus tidak ada pasal yang mengatur mengenai hak atas pendidikan untuk pengungsi, begitu pula prinsip-prinsip lainnya sebagaimana diatur di dalam Konvensi dan instrumen internasional mengenai pengungsi. Karena itu, selain harus menghormati berbagai instrumen HAM yang umum, pemerintah perlu pula mengikuti petunjuk pemenuhan hak atas pendidikan pengungsi berdasarkan Komentar Umum tentang Hak atas Pendidikan (merujuk pasal 28 dan 29 KHA) serta rekomendasi tentang yang dikeluarkan Komite PBB untuk Hak Anak pada tanggal 19 September 2008 tentang prinsip pendidikan yang bebas biaya, wajib dan berkualitas bagus (free, compulsory and good quality) yang mesti diberikan kepada pengungsi anak. Bahkan, Taufan menambahkan, pendidikan mesti pula menjamin hak pengungsi anak untuk mempelajari dan menikmati bahasa, budaya dan agama asal mereka. Kepada pengungsi anak yang tidak didampingi atau yang terpisah dar keluarga inti (unaccompanied and separated children), juga pelru dipastikan peluang untuk reunifikasi dengan keluarga, perlu menjaga identitas dan kewarganegaraan serta hak-hak lain yang melekat sebagai anak di bawah umur (di bawah usia 18 tahun). Pemerintah juga perlu memasukkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak serta penghormatan terhadap pandangan anak (the best interest of the child and respect to the view of the child) di dalam menyusun regulasi dan proram baru nantinya. 

Berbagai model penanganan pengungsi khususnya pendidikan kepada pengungsi anak dapat dipelajari dari berbagai pengalaman negara-negara lain yang sudah sangat maju dan mematuhi standar hak asasi manusia. Pemerintah dapat meminta dukungan dari UNHCR, IOM mau pun organisasi internasional lain yang sudah berpengalaman menangani pengungsi khususnya hak atas pendidikan. Pelibatan masyarakat sipil bukan saja menjamin transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga dapat mendorong inisiatif yang lebih besar lagi dari segenap elemen bangsa Indonesia. Standarisasi kurikulum untuk mencapai suatu kemampuan dan pengetahuan dasar bagi pengungsi anak perlu disusun secara baku dan diintegrasikan ke dalam kebijakan pendidikan nasional Indonesia.

Pada akhir sessi, Kemenko Polhukam membacakan kesimpulan serta rekomendasi Rakorsus yang pada intinya memutuskan kesediaan pemerintah untuk lebih luas lagi memenuhi hak-hak pengungsi, memberikan dorongan kepada pemerintah daerah selain pemerintah pusat serta memperkuat kooordinasi antara lembaga pemerintah, badan dan organisasi internasional serta masyarakat sipil. Khusus untuk Komnas HAM, peserta berharap peran startegis Komnas HAM untuk mendorong pemerintah menjalankan kewajiban menangani pengungsi sebagai bagian dari komitmen kemanusiaan di tingkat global serta melakukan pemngawasan dan penguatan atas kebijakan dan program pendidikan untuk pengungsi luar negeri. (ATK)
Short link