Kabar Latuharhary

Komnas HAM Dorong Perlindungan HAM Pengidap Kusta

Latuharhary – Pemerintah Republik Indonesia belum sepenuhnya melakukan implementasi perlindungan hak asasi manusia (HAM) sebagaimana Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) terhadap para pengidap kusta, demikian disampaikan Institute Inklusif Indonesia (i3) kepada Komnas HAM dalam audiensi yang dilaksanakan di gedung Komnas HAM pada Selasa (14/5/2019). 

 

“Pandangan negatif atau stigma terhadap pengidap kusta masih ditemui di tengah masyarakat Indonesia. Kita sudah mendrafting implementasi tentang indikator dan indeks CRPD dan kami menemukan stigma negatif pengidap kusta sangat kuat,” ungkap Boarding Institute Inklusif Indonesia (i3), Jona.  

 

Jona menyampaikan kekhawatirannya mengenai fenomena ini terlebih karena dalam satu sampai satu setengah tahun ke depan Indonesia akan menghadapi pertanyaan Dewan HAM PBB terkait sejauh mana implementasi CRPD telah dilakukan di Indonesia. “Kondisi ini harus segera ditindaklanjuti,” pungkasnya.

 

Merespon kondisi yang disampaikan tersebut, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik,  memastikan bahwa isu disabilitas pengidap kusta telah dimasukkan dalam program Festival HAM dan peringatan Hari HAM yang akan diselenggarakan oleh Komnas HAM. “Bentuknya berupa stand even khusus pengidap kusta untuk presentasi atau penampilan lainnya,” ungkapnya.

 

Pada kesempatan tersebut, Taufan mengungkapkan bahwa Kementerian Luar Negeri RI telah meminta Komnas HAM untuk mendukung Indonesia menjadi Anggota Dewan HAM PBB. Komnas HAM sepakat mendukung hal ini dengan catatan bahwa Kemenlu RI harus berkomitmen dalam implementasi perlindungan HAM. “Hal ini sekaligus menjadi ruang baru untuk memasukkan wacana disabilitas kusta dalam ranah internasional,” tukasnya.  

 

Pada kesempatan yang sama, peneliti Komnas HAM Isnenningtyas yulianti, mengungkapkan temuan Komnas HAM terkait situasi politik disabilitas khususnya kusta.  Temuan pertama, penyandang kusta tidak diakui sebagai penyandang disabilitas. Publik hanya mengakui eks kusta yang sudah sembuh tetapi kehilangan fisiknya sebagai penyandang disabilitas. 

 

Kedua, penghapusan stigma negatif yang dapat dilakukan melalui kegiatan promotif, penyuluhan, dan pendidikan akan efektif apabila menggunakan media. Media adalah corong perubah opini sehingga stigma negatif harus dilakukan dengan kampanye-kampanye positif bahwa difabel mampu untuk diberdayakan. 

 

Ketiga, pada era otonomi daerah, Pemerintah Daerah (Pemda) dituntut untuk bisa melaksanakan tangung jawabnya terhadap pemenuhan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Isnen menyampaikan bahwa sejauh ini pemda menyambut baik upaya promotif penyandang disabilitas. “Kondisi ini seharusnya menjadi peluang untuk memasukkan agenda disabilitas pengidap kusta karena Pemda mempunyai sumber dana dan sumber daya manusia (APBD) yang dapat dimanfaatkan,” pungkasnya.

 

Menurut Isnen, berdasarkan catatan penyusunan laporan CRPD, pemerintah sebenarnya mempunyai kemauan untuk berubah, namun tidak mengetahui langkah apa yang seharusnya diambil. “Cita-cita sebenarnya sudah ada, namun apa upaya yang harus dilakukan untuk merangkul pemda guna mewujudkan cita-cita tersebut, masih membutuhkan kerja sama dengan teman-teman disabilitas. Persoalan utamanya adalah bagaimana membuat isu disabilitas menjadi main streaming hingga ke daerah. Kendalanya memang pada kurangnya inisiatif,” ungkapnya.

 

Merespon kondisi tersebut, Technical Advisor NLR Yanuar, menyampaikan bahwa NLR sebagai lembaga yang fokus menghentikan penularan kusta dan membantu penerimaan eks pengidap kusta untuk kembali diterima masyarakat, juga telah berupaya dalam mengurangi stigma negatif terhadap pengidap kusta. “Kami akan menyelenggarakan pelatihan sensibilitas kusta dan disabilitas bagi teman-teman jurnalis. Kita fokus untuk menggandeng media agar tercipta pemberitaan positif tentang pengidap kusta. Tidak mengangkat kusta dari sisi penyakitnya atau sisi buruknya tapi lebih kepada apa yang bisa dilakukan para pengidap kusta,” ujarnya. (SP/IW/ENS)

Short link