Kabar Latuharhary

Komnas HAM Terima Kunjungan Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB)

Latuharhary - Menjalankan salah satu fungsi Komnas HAM di bidang pendidikan dan  penyuluhan, Komnas HAM melalui Bagian Dukungan Penyuluhan HAM menerima kunjungan Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) di Ruang Pleno Utama Gedung Komnas HAM Jakarta, Kamis (18/07/19).

Kunjungan tersebut diterima langsung oleh Koordinator Penegakan HAM yang juga Komisioner Subkomisi Dikluh, Beka Ulung Hapsara yang pada kesempatan tersebut didampingi oleh Plt Kepala Bagian Dukungan Penyuluhan dan beberapa fungsional penyuluh dan staf.

Tujuan kedatangan para mahasiswa ini, sebagaimana disampaikan oleh pimpinan rombongan Mujiyanto adalah untuk melakukan diskusi  dan mempelajari lebih dalam mengenai isu-isu HAM  dari para praktisi HAM yang telah berpengalaman khususnya dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Setelah kata sambutan Beka, Yuli Asmini memberikan pemaparan singkat seputar Komnas HAM dan HAM. Diskusi dimulai pukul 10.00 s.d. 12.00 WIB dipandu oleh Penyuluh Senior Heri Reswanto dan Roni Giandono.

Diskusi dibagi menjadi tiga sesi, dimana masing-masing sesi terdiri dari tiga penanya dari mahasiswa STHB. Diskusi yang berjalan selama kurang lebih dua jam tersebut berlangsung sangat intensif. Para Mahasiswa bahkan berebut tanya, mengajukan sanggahan, atau memberi tanggapan dari pertanyaan yang ada.

Tampak sekali bahwa para mahasiswa ini mencoba menghubungkan antara materi yang mereka peroleh di bangku kuliah dengan informasi-informasi berbasis pengalaman yang disampaikan oleh para Penyuluh Komnas HAM.

Proses ini ternyata membuka mata mereka mengenai sejauh mana perkembangan HAM di Indonesia. Hadirnya para penyuluh senior yang berpengalaman menjadi pemandu yang apik dalam diskusi tersebut.

Acara kunjungan untuk mata kuliah hukum dan HAM ini dihadiri oleh sekitar 43 mahasiswa jurusan Hukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung  (STHB) kelas karyawan dari beragam usia. Secara umum ada harapan dari para mahasiswa ini terkait kinerja Komnas HAM ke depan.

Setelah acara selesai, para mahasiswa STHB yang diwakili oleh Mujiyanto menyampaikan kata penutup. Mahasiswa STHB, lanjutnya, berharap Komnas HAM sebagai lembaga mandiri negara  akan semakin kompeten dalam menangani kasus-kasus HAM yang terjadi di Indonesia. 

“Harapannya mudah-mudahan Komnas HAM ke depan dapat melangkah lebih baik lagi. Bisa lebih sensitif lagi terhadap isu-isu pelanggaran HAM sampai ke pelosok-pelosok negeri dan melakukan penyuluhan-penyuluhan sampai ke masyarakat-masyarakat kecil agar orang semakin paham tentang HAM, minimal dapat melindungi dan mengatasi sendiri dari kasus pelanggaran HAM kecil”, ungkap Mujiyanto.


Sedangkan Salman Zakaria, 30, berharap Komnas HAM dapat lebih konsisten dan mempertahankan akreditasi A-nya di tingkat internasional. Sedangkan untuk tingkat nasional Salman berharap Komnas HAM dapat menjalankan fungsi, mandat dan kewenangannya dengan baik. “Semoga tetap menjadi lembaga yang efektif sebagai ujung tombak pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia,” tukasnya.


Komnas HAM sebagai salah satu lembaga pemerintah,  telah menjadi salah satu lembaga favorit yang kerap dikunjungi para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi termasuk Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB).


Ketika Mahasiswa Bicara Sistem Zonasi

Pada acara kunjungan kali ini, diskusi mengenai sistem zonasi yang diberlakukan oleh pemerintah sempat menjadi isu yang cukup panas dibincangkan.


Pemerintah, sebagaimana termaktub dalam Permendikbud No.51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020 mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing. Apabila jarak sama, pemeringkatan ditentukan berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN) dengan kuota sebesar 20 persen. Apabila terdapat kesamaan nilai, maka diperingkat berdasarkan urutan nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Jika masih terdapat kesamaan, maka diperingkat berdasarkan waktu pendaftaran. Mekanisme ini dinilai oleh sebagian masyarakat dapat berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM. Beberapa mahasiswa sempat mengomentari hal tersebut.


“Tentang Zonasi Pendidikan, pada dasarnya saya setuju jika tujuan Pemerintah adalah untuk melakukan terobosan-terobosan dalam pemerataan Pendidikan, sehingga dapat diusakahan siswa yang pintar dan memiliki potensi tidak hanya berada dalam satu sekolah, juga secara personal dapat memotivasi siswa sehingga dapat menciptakan suasana kompetisi belajar yang sehat”, ungkap Ayu (30 th).


Mahasiswa lain yang sempat mengutarakan pendapatnya adalah Ghina Satya Anugrah (20 th). “Tujuan Pemerintah sendiri untuk menghapus image tentang sekolah favorite dan tidak favorite memang bagus, namun seharusnya fasilitas di setiap sekolah harus di samaratakan terlebih dahulu, misalnya buku-buku penunjang, peralatan laboratorium, dan perlengkapan semua tersedia di setiap sekolah, sama rata”. ujar Ghina.


Sedangkan menurut Salman Zakaria (30 th), walaupun ada kekurangannya, pada dasarnya dirinya sepakat dengan sistem zonasi namun sistem yang sudah ada harus lebih disempurnakan agar masyarakat perlahan dapat menerima.


Sepakat dengan 3 rekan lainnya, terkait perbaikan terhadap sistem zonasi dikemukakan oleh Mujiyanto, 49 th. “Setuju, jadi tidak ada perbedaan kaya/miskin, namun di sisi lain harus ada pengawasan dari pemerintah, apakah menzolimi yang berprestasi atau tidak. Hal ini dikhawatirkan jika yang berprestasi dengan yang kurang disatukan malah membuat siswa yang berprestasi mengalami kemunduran”, papar mujiyanto.


Sebagai narasumber diskusi tersebut, Roni Giandono penyuluh Komnas HAM, menyampaikan pendapatnya bahwa sebenarnya sistem zonasi mempunyai tujuan yang baik. Sistem ini akan membagi peserta didik untuk mendapatkan sekolah yang adil tanpa adanya sekat-sekat (diskriminasi) sekolah unggulan atau pun sekolah pinggiran. Menurutnya ini upaya pemerintah untuk memeratakan akses atas pendidikan di Indonesia. (Ferry/Niken/ENS)

Short link