Kabar Latuharhary

Komnas HAM Siap Fasilitasi Dialog Konflik Papua

Kabar Latuharhary – Komnas HAM bersedia menjadi fasilitator dialog untuk membahas konflik Papua, apabila Presiden sebagai kepala negara dan masyarakat Papua meminta hal tersebut kepada Komnas HAM, kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Mohammad Choirul Anam, di sela-sela diskusi publik di Kantor Komnas HAM, Menteng, pada Selasa (3/9/2019).

“Jika memang Presiden sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan tapi sebagai kepala negara dan berbagai publik di Papua meminta Komnas HAM untuk menjadi fasilitator perdamaian atau dialog, Komnas HAM akan mengambil peran dan kami akan mencoba itu. Karena kami akan bekerja secara independen dan imparsial,” tegasnya.

Untuk penanganan kasus Papua, Komnas HAM menegaskan tidak boleh dengan cara menciptakan ketegangan berikutnya. Indonesia dapat belajar dari kasus Aceh dan berbagai di belahan dunia lain. Selain itu bila pemerintah Indonesia ingin melakukan dialog pada konflik Papua maka harus dengan agenda yang jelas.

Kata dialog itu maknanya macam-macam, saya mengikuti advokasi papua sejak 15 tahun yang lalu, semuanya ngomong dialog. Tapi apa ujungnya? Oleh karena itu, Komnas HAM ingin mengambil peran fasilitator dialog, dengan agenda-agenda yang jelas,” ucap Anam.

Selain itu, terkait penugasan aparat kepolisian. Anam menuturkan, baik aparat keamanan atau aparat keamanan eksekutif harus menjelaskan skema yang diambil untuk penyelesaian Papua ini seperti apa. Sehingga, ketika hal tersebut dijelaskan kepada masyarakat, pengiriman pasukan tentara maupun kepolisian dalam skema tersebut dapat diuji oleh publik.

“Sebenarnya yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Papua adalah narasi keadilan. Apa narasi keadilan? Minimal Wasior-Wamena dibawa ke Pengadilan, minimal kasus Paniai juga dibawa ke pengadilan. Tidak dengan bahasa yang saling kuat-kuatan,” ungkap Anam.

Lebih lanjut, Anam juga memberi gambaran isu yang akan diangkat apabila Komnas HAM diutus menjadi fasilitator dialog konflik Papua. Salah satunya ialah, pembahasan mengenai letak bendera bintang kejora yang menjadi ekspresi kebudayaan atau sebagai ekspresi politik. 

“Mendudukan kembali simbol misal gagasan Gusdur soal bintang kejora, Gusdur sebagai Presiden bukan sebagai ketua NU. Jadi ini kan ada kemunduran, bintang kejora oleh Gusdur dianggap sebagai ekspresi kebudayaan, sedangkan di Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dianggap sebagai ekspresi politik dan itu menimbulkan ketegangan yang tidak berlarut. Oleh karena itu, salah satu yang dapat kita dialogkan ialah dimana letak bintang kejora,” paparnya.

Perlu disampaikan, awal mula kericuhan yang terjadi di Sorong, Manokwari, Fakfak, Papua dipicu oleh aksi rasisme dan persekusi terhadap mahasiswa asal Papua yang berada di Malang dan Surabaya. Dan diketahui pada tanggal 21 Agustus 2019 lalu, pemerintah melakukan pemblokiran layanan data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat. Dan sebanyak 29 kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat sudah dapat kembali menikmati akses internet secara bertahap mulai hari Rabu, 4 September 2019. (Radhia/Ibn)

Short link