Kabar Latuharhary

Komnas HAM Ingatkan Potensi Eskalasi Konflik Agraria

Jakarta - Potensi kekerasan dalam konflik agraria harus menjadi perhatian pemangku kepentingan di Indonesia. Lantaran sumber permasalahannya terletak di regulasi yang tumpang tindih.

Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik menilai, terdapat unsur kekerasan yang meliputi konflik agraria. Hal itu terungkap saat ia menjadi pembicara dalam diskusi mengenai Urgensi Penanganan Konflik Agraria Struktural dan Jalan Pembaruan Agraria ke Depan dalam rangka Peluncuran Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Tahun 2019 di Galeri Museum Cemara, Jakarta, Senin (6/1/2020).  

"Saat menangani aduan terkait agraria yang dilayangkan ke Komnas HAM, kami menemukan bahwa kekerasan juga terjadi di antara sesama masyarakat," kata Taufan.



Ia menyebut ada konflik yang melibatkan masyarakat dengan sejumlah preman. Untuk itu ia meminta kepada pihak Polri untuk juga dapat mengantisipasi kemungkinan eskalasi konflik berkembang  menjurus pada kekerasan.Menyoal konflik agraria, Taufan menyebut  jika diakumulasikan, konflik agraria terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Ada beberapa daerah yang jumlahnya lebih besar seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Kalimantan. 

Taufan juga menyebut adanya tumpang tindih kewenangan dan regulasi juga memperumit konflik agraria. Ia mengungkapkan, pada sebuah kasus yang sedang ditangani, Komnas HAM pernah diundang untuk paparan dengan beberapa kementerian terkait, namun terapat data berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tumpang tindih tanggung jawab, antara pusat dan daerah. Untuk itu, Taufan berharap pemerintah bisa memperbaiki paradigmanya terkait pola pembangunan, yang saat ini tengah gencar dilakukan.

Diskusi yang dipandu oleh Wimar Witoelar dan menampilkan pembicara Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dan Kasubdit Harda Bareskrim Mabes Polri Kombes Endar Priyatno.

”Jalur laporannya banyak, dimana tempat melapor? Komnas HAM, Mabes Polri, Pemda, DPR RI, semua tempat melapor. Tempat penyelesaian yang berkeadilan itulah menjadi masalah bersama. Kita seperti berulang-ulang, dalam hal ini konflik terus menerus berulang tanpa ada penyelesaian,” ujar Ketua Dewan Nasional KPA Iwan Nurdin.

Intinya, konflik agraria yang terjadi di Indonesia seakan tidak memiliki jalur penyelesaian. Temuan dalam Catatan Akhir KPA menunjukkan, pada 2019 terjadi 279 konflik agraria seluas 734.239,3 hektare dengan jumlah masyarakat terdampak konflik sebanyak 109.042 kepala keluarga yang tersebar di 420 desa di seluruh provinsi di Indonesia.

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 410 kejadian konflik agraria, memang terjadi penurunan jumlah letusan konflik agraria di tahun 2019. Tapi jika dilihat dari sisi luasan wilayah dan jumlah keluarga yang terdampak konflik, mengalami peningkatan. 

"Termasuk apabila dilihat dari eskalasi kekerasan dan jumlah petani, masyarakat adat dan aktivis yang ditangkap karena mempertahankan hak atas tanahnya, maka tahun 2019 ini mengalami peningkatan drastis,” papar Dewi Kartika.

KPA juga mencatat sejumlah aksi brutalisme aparat di wilayah-wilayah konflik agraria sepanjang tahun 2019. “Cukup disayangkan cara-cara penanganan konflik agraria di banyak provinsi oleh aparat menjadi pengaruh buruk penanganan konflik agraria pada 2019,” ungkapnya lebih lanjut.

Perkebunan kembali menjadi penyebab tertinggi konflik agraria, 61 diantaranya konflik rakyat dengan perusahaan swasta sedangkan 26 konflik dengan negara/BUMN. Meskipun jumlahnya di tahun ini lebih sedikit konflik agraria perkebunan milik negara, namun bagi KPA penting untuk memastikan menteri BUMN untuk menjawab konflik agraria struktural antara warga, antara petani, antara masyarakat adat dengan perusahaan-perusahaan BUMN.(AAP/IW)

Short link