Kabar Latuharhary

Komnas HAM Gelar Pemutaran Film Pendek di Ambon

Kabar Latuharhary – Komnas HAM melalui Subkomisi Penyuluhan melaksanakan pendidikan hak asasi manusia bekerja sama dengan beberapa pihak melalui pemutaran film sebagai rangkaian peringatan Hari HAM. Kegiatan ini dilakukan di 6 (enam) Kantor Perwakilan Komnas HAM termasuk Kantor Perwakilan Maluku di Auditorium Institut Agama Kristen Negeri (IAKN), Kota Ambon, pada (17/12/19).

Hadir sebagai narasumber pada kegiatan pemutaran film dan diskusi tersebut, Beka Ulung Hapsara (Koordinator Pemajuan HAM yang juga menjabat Komisioner Sub Komisi Penyuluhan), Amerta Kusuma (Produser Pendamping Film Istirahatlah Kata-Kata), Dr. Yance, Z Ruhahuru, MA (Akademisi IAKN Ambon), Marlin Ch, Leimaheriwa, M.Phil (Pusat Studi Agama dan Budaya IAKN Ambon), dan Rudi Fofid (Sastrawan). Acara ini dihadiri oleh 100 orang peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa. 

Mengawali acara, Wakil Rektor 1 IAKN Ambon mewakili pihak kampus, menyampaikan bahwa dirinya menyambut baik kegiatan pemutaran dan diskusi film ini. “Sebagai kampus dengan semboyan Harmoni dalam Perbedaan, perjumpaan-perjumpaan dalam forum seperti ini menjadi penting untuk dilaksanakan selaras dengan moto yang kami miliki yaitu Manusia yang memanusiakan dalam bingkai Hukum dan Hak Asasi Manusia,” paparnya.

Sambutan singkat juga sempat disampaikan oleh Kepala Perwakilan Komnas HAM Maluku, Benediktus Sarkol. Benediktus memaparkan sekilas tentang program dan fungsi-fungsi utama Komnas HAM.

Acara dilanjutkan dengan pemutaran dan diskusi film yang berjudul Istirahatlah Kata-kata. Acara ini dapat dinilai berhasil menarik antusiasme penonton yang hadir. Hal tersebut terlihat dari selama pemutaran film berlangsung, setiap peserta menikmati film yang ditayangkan hingga selesai. Tidak jarang juga terlihat para peserta berdiskusi bersama teman di samping mereka.
 
Sebelum memasuki sesi diskusi, pemandu acara sempat mengundang salah satu peserta untuk membacakan sebuah puisi bertajuk “Jenderal”. Puisi yang dibawakan merupakan refleksi peristiwa di era orde lama serta kritik atas sistem pemerintahan saat itu. 

Sesi diskusi berlangsung menarik. Tercatat, seorang mahasiswi bertanya kepada Beka Ulung Hapsara terkait pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan beberapa tempat lainnya. “Apa tanggapan Bapak tentang pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Papua? Contohnya yang terjadi pada Surya Anta yang ditangkap saat menyampaikan aspirasinya dan dituntut di pengadilan? Ke mana sebenarnya HAM itu berada?,” tanya mahasiswi tersebut.

Merespon pertanyaan tersebut, Beka menjelaskan bahwa yang menjadi masalah di Papua adalah mereka merasa bukan bagian dari Indonesia. Hal ini menjadi pekerjaan rumah paling sulit bagi Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan di sana. “Ini merupakan akumulasi dari persoalan ketidakadilan, pembiaran dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM, dan persoalan ekspolitasi sumber daya alam yang tidak dinikmati oleh masyarakat Papua. Hal ini harus disikapi dengan hati-hati. Pemerintah telah membentuk regulasi-regulasi untuk dapat menyelesaikan persoalan di sana”, papar Beka.

Pada penjelasannya, Beka menyetujui bahwa jawaban atas ketidakadilan bukanlah menambah banyak aparat polisi atau militer di Papua. “Berbicara masalah Papua, terdapat banyak faktor yang harus diperhatikan. Terkait persoalan kebebasan berpendapat, ada tendensi bahwa negara mengalami sedikit kepanikan dalam menghadapi pengaruh perkembangan sosial media. Menyikapi hal ini, solusi terbaik adalah membuat regulasi-regulasi perihal yang dapat dipublikasikan dan tidak dapat dipublikasikan. Memang persoalan semakin rumit ketika muncul intervensi dari aparat penegak hukum yang membatasi kebebasan berekspresi dalam media sosial. Persoalan lain pada isu kebebasan sipil. Salah satu hasil pergantian sistem dari era orde baru ke era refomasi ialah kebebasan sipil. Demokrasi menempatkan kebebasan sipil di atas yang lain. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga marwah tersebut,” papar Beka.

Setelah semua narasumber memberikan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh para peserta, pemandu acara kemudian menutup kegiatan diskusi film dengan kata-kata bijak. Manusia bisa membuat sejarah tapi sejarah yang dibangun oleh manusia itu tidak seenak perut dia. Hal itu dibangun oleh kondisi-kondisi objektif yang ada di sekitarnya. Wiji Tukul adalah bagian dari itu, pilihan dia untuk terjun langsung dalam gerakan demokrasi itu bukan atas dasar pilihan dirinya sendiri tapi dibentuk oleh realitas yang sedang terjadi saat itu. (Niken/ ENS) 

Short link