Bandung - Terpilihnya Indonesia sebagai anggota Dewan HAM
PBB periode 2020-2022 pada Sidang Umum PBB tanggal 17 Oktober 2019 di New York,
AS menjadi pendorong bagi penuntasan masalah HAM di Indonesia.
"Keanggotaan pada Dewan HAM PBB justru menjadi dorongan
bagi Indonesia untuk lebih serius menyelesaikan berbagai masalah HAM di negeri
sendiri," ujar Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Ahmad Taufan Damanik di
Bandung, Jawa Barat (17/1/2020), dalam acara Konsinyering Penyusunan Posisi
Dasar (White Paper) Keanggotaan Indonesia di Dewan HAM PBB periode 2020-2022
yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Taufan menjelaskan berbagai tantangan di tingkat global
terkait hak asasi manusia, yakni: Kemiskinan dan Ketidakadilan Global;
Diskriminasi; Konflik Bersenjata dan Kekerasan; Impunitas, Defisit Demokrasi;
dan Kelembagaan Hak Asasi Yang Melemah baik di tingkat lokal maupun
internasional.
Kemiskinan dan ketidakadilan global memunculkan isu hak
asasi di bidang ekonomi dan sosial seperti perumahan, lapangan pekerjaan,
kesehatan, pendidikan, gizi anak dan perempuan, serta persoalan hak-hak
kesejahteraan lainnya. Isu ini juga berkaitan dengan distribusi sumber daya
alam dan ekonomi, agraria, akses yang adil terhadap pendapatan serta bagaimana
negara bisa menjamin hak-hak dasar masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan
budaya.
Pihak pemodal atau keberadaan korporasi turut memunculkan
isu Bisnis dan HAM yang semakin menguat di tataran internasional. Para pegiat
dan ahli HAM juga menekankan pentingnya posisi dan peran pemerintah daerah
melalui kerangka kerja Human Rights Cities. Indonesia, kata Taufan, mesti
mendorong pemahaman itu di tingkat nasional, regional dan internasional.
Keanggotaan Dewan HAM PBB mesti memaksimalkan pula dorongan untuk memperkuat
negara-negara dunia ketiga agar kesenjangan global bisa diatasi.
“Isu HAM mesti mampu menembus wacana politik pembangunan
global yang sudah lama timpang. Negara-negara berkembang harus bahu-membahu
memanfaatkan wadah PBB sehingga konflik akibat ketimpangan baik antara negara
maju dengan negara berkembang mau pun konflik intranegara sebagai imbas
ketimpangan global,”tutur Taufan.
Taufan juga menyinggung masalah pengungsi antarnegara dan
pencari suaka yang semakin membesar akibat konflik di regional Timur Tengah,
Asia Selatan (Sri Lanka dan Bangladesh) serta Myanmar (Rohingya). Konflik
bersenjata yang terjadi antarnegara mau pun intranegara, menurutnya, muncul
karena kekerasan bersenjata.
"Kekerasan makin menguat dan kita mesti menjadikan
masalah ini sebagai isu penting bersama di internasional mau pun regional.
Indonesia dapat berperan sesuai dengan semangat konstitusi kita yang memang
mengamanatkan tugas menjaga perdamaian dunia,” ujar Taufan menjabarkan.
Faktor kekerasan yang dilakukan negara maupun kelompok
masyarakat juga perlu diperhatikan, terutama dalam kaitan bangkitnya
konservatisme, politisasi identitas, dan ekstremisme. Lebih lanjut
faktor-faktor yang mengancam demokrasi termasuk korupsi adalah isu yang juga
harus menjadi perhatian.
Taufan menambahkan, penegak hukum agar tidak melakukan
pembiaran terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan masyarakat, organisasi
kemasyarakatan (ormas) maupun individu terhadap Komunitas LGBT maupun kelompok
minoritas lainnya. Perlindungan terhadap mereka sangat penting untuk
menunjukkan bahwa semua orang dilindungi oleh negara. Taufan juga
menyinggung soal penguatan kerangka hukum nasional baik di tingkat pusat maupun
dengan merujuk ke berbagai substansi kovenan/konvensi maupun instrumen HAM internasional
lainnya. Isu keselarasan dan kepatuhan regulasi dan kebijakan nasional terhadap
standar dan norma HAM menjadi indikator apakah keanggotaan kita di Dewan HAM
PBB bermanfaat bagi pemajuan dan perlindungan HAM di tanah air atau
sebaliknya.
Penerapan prinsip non-diskriminasi, kesetaraan gender dan
perlindungan terhadap hak-hak penyandang disabilitas, serta berbagai isu
penting hak asasi lainnya juga mencuat di dalam diskusi tersebut. Taufan juga
mengkhawatirkan kecenderungan defisit demokrasi dimana selain proses politik
semakin tidak menjawab rasa keadilan sosial, juga ada kecenderungan hak-hak
sipil dan kemerdekaan mengalami pengurangan.
Masalah yang tak kalah pentingnya, yaitu Papua. Lantaran
kasus yang termasuk pelanggaran HAM berat belum jelas penyelesaiannya,
sementara siklus kekerasan masih terus terjadi. Terlihat pula ketimpangan
sosial-ekonomi antara penduduk asli Papua dengan pendatang, pembangunan yang
belum menyentuh masyarakat menyeluruh bahkan di sisi lain merusak ekologis dan
merampas hak masyarakat adat, merupakan catatan krusial yang terus terjadi.
Indonesia, nilai Taufan, pasti akan terus dicecar soal isu Papua dan mesti
mampu memformulasikan jalan keluarnya.
Taufan berharap sejumlah kalangan hendaknya juga
memerhatikan fungsi-fungsi sosiologi dalam pemecahan masalah sosial. Tujuannya
untuk mempelajari interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat, kemudian
mempelajari konflik sosial dan cara mengatasinya.
Meski begitu, Indonesia masih mempunyai banyak catatan
positif penyelesaian konflik atau masalah hak asasi manusia. “Kita masih
diilihat sebagai negara yang terbaik di ASEAN untuk praktik demokrasi dan hak
asasi. Ada pengalaman penting Indonesia menyelesaikan konflik yang luar biasa
rumit di Aceh, Poso, Maluku, Kalimantan Barat dan lain-lain dan kita bisa
selesaikan dengan sangat mengagumkan. Kisah sukses ini bisa menjadi contoh baik
juga bagi negara lain karena itu sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia perlu
mengampanyekan kesuksesan tersebut di forum internasional,” demikian penjelasan
Taufan. (EJ/ATD)