Kabar Latuharhary

Komnas HAM: Penyusunan Omnibus Law Tidak Akuntabel dan Partisipatif

Latuharhary - Komnas HAM menyatakan bahwa proses penyusunan Omnibus Law tidak akuntabel dan partisipatif, demikian disampaikan oleh Komisioner Pengkajian Penelitian Muhammad Choirul Anam diskusi bertajuk Omnibus Law dalam Dimensi Hak Asasi Manusia: "Akuntabilitas dan Partisipasi dalam Penyusunan Omnibus Law", di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (30/1/2020). Selain Anam, hadir pembicara lainnya Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih. Diskusi  dimoderatori oleh Rima P. Salim yang merupakan staf Komnas HAM.
 

Diskusi diawali dengan pernyataan moderator mengenai penyusunan Omnibus Law, undang-undang untuk Cipta Lapangan Kerja atau masyarakat menyebutnya CILAKA, yang hingga kini tidak ada satupun lembar akademik maupun draf resmi RUU yang dapat diakses publik. Hal ini menjadi pertanyaan tersendiri berkaitan dengan akuntabilitas dan partisipasi terkait proses penyusunan Omnibus Law ini.


Penting untuk diketahui pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menyatukan semua aturan terkait investasi kedalam RUU Omnibus Law. Terdapat kurang lebih 79 UU dan 1.229 pasal yang terdampak Omnibus Law (angka ini dapat berubah menyesuaikan hasil pembahasan bersama Kementerian dan Instansi terkait. Ada tiga manfaat menurut pemerintah dalam penerapan Omnibus Law. Pertama, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan. Kedua, efisiensi proses perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undangan. Ketiga, menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan.


Terlepas dari manfaat baik yang ingin dicapai pemerintah dari Omnibus Law ini, Anam menyayangkan tertutupnya akses draf terhadap publik. 


“Ini problem yang menyangkut orang banyak tapi tertutup. Ciri proses yang tertutup akan melahirkan tindakan kekerasan. Jangan kita kembali ke Negara totaliter seperti jaman Orde Baru (Orba). Jika kembali ke Orba maka kasus PETRUS atau kasus kekerasan bisa terjadi kembali karena pengelolaan Negara hanya dipegang oleh pemegang kekuasaan, padahal juga menjadi haknya masyarakat. Karena itu warning dari kami supaya sejak awal tindak kekerasan bisa dikurangi maka proses ini harus dibuka, tidak ada argumentasi konstitusional apapun pun untuk proses ini ditutup,” ujar Anam.


Mendukung pernyataan Anam, Alamsyah, anggota Ombudsman RI, turut membagi pengalamannya. 


“Awal Desember Ombudsman sudah mengirimkan surat kepada Menko Perekonomian untuk minta dipaparkan RUU Omnibus Law demi memberikan masukan, namun balasannya adalah ditolak karena draf belum disetujui oleh Presiden dan belum ada arahan Menteri. Ini pertama kali Ombudsman dapat surat seperti itu. Menurut kami aneh padahal kami hanya ingin memberi masukan saja, kami disuruh buat masukan tertulis padahal bahan belum disampaikan. Logic error menurut saya, sangat fatal bagi penyelenggara Negara,” ungkap Alamsyah.


Alamsyah melanjutkan pernyataannya, “Kalau seperti lagu sekarang, Entah Apa  yang  Merasuki mereka sehingga takut membahas ini secara terbuka. Bahkan ada yang datang ke Ombudsman mengaku sebagai Satgas Omnibus Law namun diminta untuk menandatangani Disclaimer untuk merahasiakan isi draf,” bebernya.

 
Hal ini turut diperkuat oleh Anam, “Sampai sekarang kami pun tidak mendapat draf resmi. Bahkan yang menyebarkan draf akan diancam. Menurut saya ini adalah perbuatan yang sangat bertentangan dengan semangat Konstitusi dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia”, tegas Anam. 


Anam menjelaskan bahwa menurut Pasal 28C UUD 1945 segala bentuk pembatasan harus diatur dengan undang-undang. Kemudian pada pasal yang lain: untuk memastikan Undang-undang, ada akses keterbukaan dan partisipasi. 


“Kenapa Undang-Undang karena Undang-Undang memastikan bahwa kekuasaan yang sedang berlangsung itu tidak Totaliter. Karena harus diuji sejak dari ide, tidak perlu menunggu sampai draf, oleh publik, DPR dan Presiden. Untuk itu sifatnya harus terbuka, karena itu jika tidak terbuka RUU Omnibus Law ini, maka akan terjadi pelanggaran Konstitusi yakni tidak akuntabel dan partisipatif. Karena keterbukaan dan partisipasi adalah pilar konstitusi kita.”ungkap Anam.


Selanjutnya Anam membeberkan potensi-potensi masalah yang bisa diakibatkan dari ketertutupan proses Omnibus Law, “Setiap warganegara punya hak untuk berpartisipasi. Namun bila tertutup seperti ini, isinya pun bisa saja kemana-mana. Karpet merah untuk investasi ini akan memungkinkan buruh akan mudah di-PHK dan tidak ada jaminan apapun setelah di-PHK. Ini silahkan dikonfirmasi dengan yang membuat karena draf resminya tidak dibuka, jika benar isinya seperti demikian maka CILAKA betulan karena justru bukan menciptakan lapangan pekerjaan namun merampas lapangan pekerjaan,” sebut Anam.


Alamsyah dalam diskusi mengungkapkan proses yang ideal bagi penyusunan Omnibus Law ini, “Seorang penyusun regulasi yang cerdas dalam bernegara tahu persis bahwa partisipasi bukan untuk mengakomodir semua kepentingan. Namun untuk ambil sesuatu yang bisa disepakati, jika ada kelompok yang tidak diakomodir maka dipikirkan skema afirmasinya, itulah cara berdemokrasi. Jika tidak dapat mengerti prinsip ini jangan duduk jadi pejabat. Jadi tidak ada alas an untuk tidak dibuka untuk publik sebagai kelompok terdampak. Buka dulu jangan keras kepala, hal itu yang kami sarankan,” usulnya. 


Omnibus Law bukanlah jawaban atas semua penyakit (masalah) yang ada. penyelesaian akar masalahnya dari pelaksanaan Undang-Undang yang dianggap tumpang tindih ini. Menurutnya Omnibus Law yang tertutup ini justru akan menimbulkan permasalahan lain, “Potensi berikutnya tidak menghargainya hak asasi di berbagai dimensi, yaitu hak milik dan hak identitas. Kita tidak menolak investasi namun kita mau investasi yang ramah terhadap HAM, terhadap lingkungan dan terhadap tata kelola bernegara yang baik. Dengan adanya Omnibus Law ini yang secara proses tidak akuntabel dan menutup partisipasi, kita lebih dekat pada tata kelola negara yang totaliter,” ujarnya.


“Rekomendasi Komnas HAM adalah pemerintah membuka draf resmi kepada masyarakat dan Komnas HAM akan terus mengawal penyusunan Omnibus Law ini demi Hak Asasi Masyarakat dapat terpenuhi,” tegas Anam di akhir diskusi.


Untuk melihat diskusi dan pembahasan lebih lengkap mengenai proses penyusunan Omnibus Law dapat disaksikan melalui kanal Youtube Komnas HAM berikut :https://youtu.be/XhpUjrVMYV4. (Bex/Ibn)

Short link