Kabar Latuharhary

Komnas HAM Monitoring Tata Kelola Penanggulangan COVID-19

Latuharhary – Komnas HAM menyampaikan laporan hasil monitoring (pemantauan) sepekan setelah 18 Butir Rekomendasi Komnas HAM tentang Tata Kelola Penanggulangan COVID-19 disampaikan Kepada Presiden RI. Hasil monitoring Tim Covid-19 Komnas HAM juga memuat sejumlah catatan yang dinyatakan dalam jumpa pers daring melalui platform Zoom Webinar, pada Kamis (09/04/2020).

Hasil monitoring tersebut disampaikan langsung oleh Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, M. Choirul Anam bersama dua staf Pengkajian dan Penelitian tim COVID-19 Komnas HAM, Brian Azeri dan Kania Rahma Nureda, serta Ronny Josua Limbong sebagai moderator.

Mengawali konferensi pers, Anam menyatakan telah melakukan kajian di beberapa negara dengan membandingkan situasi di Indonesia. “Komnas HAM saat ini telah melakukan pengkajian terhadap beberapa negara (Inggris, Italy, Jepang, Korea) dan melihat kondisi faktual di Indonesia. Hasilnya adalah 18 rekomendasi untuk pemerintah yang diserahkan pada tanggal 30 Maret kemarin dan 10 rekomendasi untuk Gubernur DKI. Kami telah melakukan monitoring terkait hasil rekomendasi tersebut, melalui media maupun dokumen-dokumen kebijakan terkait”, tutur Anam.

Pemaparan hasil monitoring disampaikan oleh Brian mengenai wacana penerapan darurat sipil, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta dan terkait Overcapacity di rutan/lapas setelah pembebasan 35.000-an narapidana (napi).

“Sebelumnya Komnas HAM sudah menyampaikan penolakan terhadap wacana darurat sipil karena berpotensi memicu terjadinya pelanggaran HAM. Pada akhirnya pemerintah menerapkan kedaruratan kesehatan masyarakat, melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 11 Tahun 2020 dan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang penerapan PSBB. Namun, PP serta Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terkait PSBB yang ada, memiliki beberapa kendala, salah satunya terkait dengan panjangnya birokrasi. Padahal Covid-19 ini penyebarannya sangat cepat sehingga membutuhkan kecepatan juga dari pemerintah untuk melakukan pencegahan. Pemprov DKI sendiri sudah meminta permohonan sejak tanggal 1 April, namun baru akan dilaksanakan secara efektif tanggal 10 April 2020, berati ada jeda 9 hari sejak diajukan sampai diterapkan. Oleh karena itu, pemerintah harus bisa lebih cepat lagi dan memutus rantai berbagai birokrasi yang ada”, papar Brian.

Lebih lanjut Brian mengungkapkan bahwa terkait salah satu rekomendasi Komnas HAM tentang karantina wilayah dan proporsional, pemerintah tidak menerapkan, tetapi di lapangan sejumlah wilayah secara tidak langsung menerapkan karantina parsial.

Komnas HAM dalam hal ini mendorong dan mendukung karantina wilayah sebagai pencegahan Covid-19, tentunya dengan memberi rekomendasi, karantina ini diberikan kepastian dan protokol yang jelas agar proporsional dan non diskriminasi”, ungkapnya.

Persoalan overcapacity dan kerumunan juga menjadi sorotan karena masih terjadi di rutan dan lapas, namun sampai saat ini, belum ada langkah dan kebijakan untuk mencegah dan menangani pandemi Covid-19 di penjara selain membebaskan dengan syarat para narapidana.

Pada kesempatan yang sama Kania memaparkan hasil monitoring terkait adanya stigma yang terbangun saat ini, tercermin dari penolakan jenazah di sejumlah wilayah, keresahan pada kedatangan TKI, serta stigma negatif pada tenaga medis.

“Keterbukaan informasi dan edukasi menjadi sangat penting diberikan kepada masyarakat. Pembangunan kesadaran penting dilakukan, karena masyarakat merasa ketakutan akibat kurangnya informasi. Perlu juga adanya kebijakan lebih lanjut yang terus memperhatikan perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri khususnya buruh migran yang berada di negara terinfeksi, untuk memastikan perlindungan yang maksimal”, papar Kania.

Terkait Bantuan Langsung Tunai (BLT) masyarakat terdampak disoroti oleh Ronny sudah dilaksanakan walaupun terdapat kendala di lapangan. “Saat ini sudah dilakukan program seperti kartu pra kerja, program keluarga harapan (PKH), bantuan keringanan tarif listrik, dan ada juga bantuan paket sembako, namun belum ada teknis penyaluran yang jelas. Pendataan penerima manfaat ini harus dilakukan dengan baik”, ujar Ronny.

Menguatkan tim PP Covid-19 Komnas HAM sebelumnya, Anam menjelaskan terkait salah satu hasil yang paling menonjol dalam monitoring Komnas HAM, yaitu soal penerapan PSBB.

“Walaupun belum ada kebijakan formal (kecuali DKI), banyak pencegahan yang telah dilakukan terutama dari kepolisian. Kami meminta kepada kepolisian agar tidak ada penahanan, harus persuasif. Merespon kami, kepolisian memutuskan agar pada tahap awal melakukan himbauan terlebih dahulu, baru penindakan sebagai jalan terakhir, penindakan ini tidak boleh ada penahanan”, jelas Anam.

Anam kemudian menuturkan terkait problem utama PSBB, ada dua hal penting yang menjadi sorotan, pertama dari segi keagamaan.

“Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan yang setelahnya pasti ada mobilisasi tinggi. Walaupun sudah ada Surat Edaran dari Kementerian Agama, namun secara teknis masih belum jelas”, tutur Anam.

Hal kedua yang menjadi persoalan utama PSBB, Anam melanjutkan adalah terkait kegiatan ekonomi. Kapan dan bagaimana orang masih bisa tetap bertahan hidup dengan menjalankan kegiatan ekonominya? Bagaimana batasannya? Hal ini harus diperjelas.

“Kementerian Kesehatan sebagai Kepala di Peraturan Pemerintah (PP) dan Kepala gugus tugas harusnya dapat membuat aturan yang lebih solid terpusat, untuk menghindari improvisasi di berbagai tempat. Improvisasi ini ada yg baik, misal tentang wajib masker, contoh di Banyumas itu masker dibagikan, lalu ada ancaman sanksi bagi yang tidak memakainya. Namun ada juga improvisasi yang kurang baik. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) juga tidak menjawab detail. Padahal Permenkes seharusnya lebih jelas daripada PP”, jelas Anam.

Komnas HAM juga menyoroti terkait tingginya jumlah tenaga medis yang meninggal, hal tersebut seharusnya menjadi kritik terhadap kebijakan yang ada mengenai penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis dan tenaga penunjang.

“Harusnya sejak awal kita lebih siap. Kami meminta juga adanya tunjangan untuk petugas-petugas lapangan, misal kepolisian, satpol PP, petugas medis di lapangan, atau relawan-relawan, ini merupakan tanggung jawab pemerintah”, tegas Anam.

Setelah dilakukan sesi tanya jawab dari beberapa rekan-rekan media yang turut hadir, sebagai bahan penutup, Kania memberikan kesimpulan bahwa dalam menghadapi krisis Covid-19 ini, keterbukaan informasi itu menjadi sangat penting. Selain itu pula, terkait info Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di luar negeri data yang ada harus update dan akurat.

Sedangkan Brian menggaris bawahi pentingnya penguatan legalitas terutama bagi Aparat Penegak Hukum. Platform kebijakan terpusat yang ada harus lebih memotong birokrasi, serta sinkronisasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Sedangkan catatan paling penting menurut Anam adalah tidak boleh ada birokrasi yg bertele-tele dalam penanganan COVID-19 ini karena sifatnya yang darurat sehingga koordinasi yang dilakukan juga harus oke dan baik.

“Pemerintah harus dapat melihat harapan masyarakat, misalnya sudah ada yang melakukan hal-hal mirip PSBB, seperti penutupan wilayah. Segeralah ambil kebijakan agar tidak berlarut larut”, ungkap Anam.

Permasalahan besar lainnya adalah soal Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang belum mendapat perhatian serius. Namun disisi lain, Komnas HAM juga memiliki catatan positif, yaitu terkait pergerakan pengadaan APD bagi tenaga medis yang saat ini dinilai sudah mulai meningkat.

“Komnas HAM dalam hal ini berterima kasih kepada semua orang yang menjaga kesehatannya karena kesehatan itu untuk semua,oleh karena itu, penting bagi kita saling bahu membahu antar seluruh lapisan masyarakat”, pungkas Anam. (Niken/Ibn)

Short link