Kabar Latuharhary

Komnas HAM: Panduan Pemerintah Penting untuk Hilangkan Stigma

Latuharhary- Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara menyatakan bahwa masyarakat memerlukan panduan yang tepat dari Pemerintah terkait Covid-19 agar stigma yang tumbuh di masyarakat dapat perlahan menghilang. Hal tersebut diungkapkannya ketika menjadi narasumber diskusi webinar Japeksi (Jaringan Pekerja Sosial) dengan tema “Covid-19: Stigma VS Kemanusiaan”, pada Kamis (16/4/2020).

“Kita membutuhkan satu direct, arahan, atau panduan yang tepat dari Pemerintah. Hal tersebut diperlukan agar pertama, stigma di masyarakat semakin hilang. Kedua, ada semacam kepastian tentang langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah. Untuk kemudian dapat dijadikan sebagai semangat tertentu bagi tenaga medis, relawan, kepada keluarga korban, dan lain sebagainya.” Ungkap Beka.

Berbicara mengenai Covid-19, Komnas HAM menaruh perhatian yang sangat serius terhadap pandemic ini. Dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Covid-19 ini menyangkut Hak Hidup.  “Hak Hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun. Ini penting kemudian bagi kita untuk menempatkan Pandemi Covid-19 ini sebagai salah satu permasalahan dari Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, Komnas HAM menaruh perhatian sangat serius kepada Covid-19” Kata Beka.

Beka juga berbicara mengenai penyebab masih adanya stigma di kalangan masyarakat. Beberapa penyebabnya ialah kurangnya literasi masyarakat terkait Covid-19, dan lemahnya edukasi dari Pemerintah. Hak Asasi Manusia, lanjut Beka tidak hanya mengenai Hak-hak yang melekat pada setiap warga negara, namun juga terkait dengan kewajiban negara untuk dapat menghormati, memenuhi, melindungi, hingga menegakkan HAM. Bebas dari diskriminasi, dan stigma juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia.



“Kenapa stigma masih ada? Pertama tentu saja literasi yang masih kurang. Pengetahuan kita itu masih sangat terbatas, ini juga didominasi oleh kelas menengah, yang akses informasinya lebih banyak. Namun, untuk masyarakat kalangan bawah, pekerja harian akses informasi sangat kurang. Kedua ialah, lemahnya koordinasi dan edukasi dari pemerintah.” Ucap Beka

Hal yang paling berbahaya dari stigma itu sendiri ialah munculnya sikap diskriminatif. Oleh karena itu, kunci untuk mengurangi atau menghilangkan stigma di masyarakat terkait Covid-19 ini yang pertama adalah edukasi, dan yang kedua mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberdayakan aparatusnya sampai ke desa-desa.

“Tidak ada kekuatan lain sekuat kekuatan negara. Kekuatan negara itu kemudian bisa memobilisir Aparatur Sipil Negara sampai level desa, TNI , Babinsa, Polisi, untuk kemudian sama-sama mengedukasi seperti apa Covid 19-ini, cara pencegahannya, dan bagaimana juga menumbuhkan ketahanan tubuh kita. Supaya tidak mudah terkena penyakit.” Kata Beka.

Komnas HAM sudah melakukan langkah-langkah yang cukup banyak terkait Covid-19. Termasuk diantaranya ialah menyurati Presiden Republik Indonesia untuk memberikan rekomendasi terkait tata kelola penanggulangan Covid-19 di Indonesia. “Rekomendasi tata kelola penanggulangan Covid-19 ini misalnya dari persoalan legalitas, kebijakan yang harus terpusat, kebijakan wilayah yang proposional, kebijakan mobilitas, kerumunan yang tepat, hingga sebaran informasi yang up to date, dan lain sebagainya. Selain itu, rekomendasi kami yang lainnya kepada Presiden ialah memerangi stigma bagi korban, keluarga korban, pekerja medis, hingga relawan,” Lanjut Beka.

Perlu disampaikan, selain Beka Ulung Hapsara, Webinar tersebut turut menghadirkan beberapa narasumber lainnya, diantaranya, Marinus Gea (Anggota DPR-RI, Komisi III), dr.Febby Moniaga (Dokter), dan juga Dra.A.Kassandra Putranto (Psikolog). Pada kesempatan kali ini, Marinus Gea sependapat dengan Beka bahwa salah satu penyebab stigma tumbuh di masyarakat, ialah karena kurangnya edukasi tentang Covid-19.

“Sebenarnya stigma ini bukan baru terjadi ketika ada pemakaman jenazah Covid-19. Tetapi saya kira dari proses awal ketika terjadi bencana Covid-19 ini tidak ada penjelasan yang sangat tegas kepada masyarakat dengan memberikan sosialisasi dan pengetahuan tentang keberadaan covid  itu sendiri. Pemerintah harus mengambil sikap yang tegas untuk memberikan edukasi yang benar kepada masyarakat, itu kuncinya.“ Ucap Marinus.

Sementara itu, Psikolog Dra. A. Kassandra Putranto menyatakan bahwa dari Ikatan Psikolog Indonesia telah menurunkan 3 satgas, dan bila diperhatikan dari sisi psikologinya bahwa nomor 1 yang paling parah dari semua peristiwa pandemi di seluruh dunia itu adalah masalah hoax dan stigma. Menurutnya, dilihat dari sisi psikologi untuk penanganan Hoax dan Stigma tersebut, diperlukan pula kemampuan untuk berpikir rasional dan analisa.

“Ketika seseorang punya masalah dengan kemampuan berfikir rasional dan melakukan analisa, tentu saja akan dengan mudah menjadi korban dari penyebaran hoax dan stigma itu sendiri. Kedua adalah covid ini terjadi saat ada revolusi industri, jadi dengan ada covid atau tidak ada itu banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang jadi hilang. Nah dengan adanya covid, semakin hilang lagi. Sehingga masyarakat kita semakin dipenuhi dengan kecemasan dan ketakutan terutama dengan ketidakpastian. Sehingga pastinya daya fikir itu semakin terbatas lagi. Padahal untuk kita bisa tetap hidup dalam kondisi yang sekarang ini, kita perlu kreatif, dan mempertahankan kompetensi,”Kata Kassandra.

Dokter Febby Moniaga berpendapat bahwa ada hal besar yang dapat ditimbulkan dari stigma di masyarakat, hal tersebut menyangkut dengan penekanan angka penyebaran Covid-19. Selain itu, menurutnya, dengan adanya stigma tersebut, tentunya dapat membuat imunitas para pasien postif covid menurun.

“Pertama, apabila terdapat pasien yang telah dinyatakan positif Covid-19 di beberapa daerah, mereka mendapatkan stigma dari masyarakat, dibully, sampai data-data mereka pun tersebar. Hal tersebut yang akan membuat pasien-pasien lainnya yang mungkin mereka sudah kontak langsung dengan pasien positif lainnya, menjadikan mereka takut untuk memeriksakan diri. Kedua, pasien yang telah memiliki gejala Covid-19 ketika memeriksakan diri ke Rumah Sakit, mereka tidak jujur kepada dokter apabila mereka sudah kontak langsung dengan pasien yang positif, atau mereka baru pulang dari daerah red zone, otomatis akan terjadi kesalahan data pemeriksaan kepada pasien. Jadi hal tersebut, membuat angka penyebaran Covid-19 tinggi lagi.” ucap dr. Febby

Perlu diketahui sebelumnya, di tengah pandemi wabah Covid-19. Muncul fenomena sosial di masyarakat yang berpotensi untuk memperparah situasi, hal tersebut adalah stigma yang ditujukan kepada para pasien Covid-19. Tidak hanya pasien, stigma negatif ini turut dirasakan oleh para tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam menangani Covid-19 ini. Beberapa hal yang dialami seperti, penolakan terhadap Dokter dan Perawat pasien virus Corona oleh masyarakat di berbagai daerah, perundungan, hingga penolakan pemakaman jenazah positif corona di berbagai daerah. (Radhia/Ibn)


Short link