Kabar Latuharhary

Komnas HAM Evaluasi Tata Kelola Penanggulangan COVID-19

Kabar Latuharhary – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) bersama dengan 6 Kantor Perwakilan Komnas HAM (Aceh, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua) mengungkapkan beberapa hasil evaluasi terkait Perspektif HAM atas Tata Kelola Penanggulangan Covid-19 di Nasional dan 6 wilayah perwakilan, melalui konferensi pers online, pada Selasa (21/4/2020).

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, M. Choirul Anam dalam pembukaan konferensi pers online memaparkan 8 poin penting dalam evaluasi nasional. “Dalam press release kali ini terdapat 8 poin penting yang akan kami bahas. Pertama adalah kami masih menemukan satu tata kelola soliditas kebijakan, platform dan orientasi kepentingan. Seperti contoh KRL misalnya. Beberapa Pemda di Jabodetabek khususnya Kabupaten Bogor meminta KRL untuk diberhentikan sementara, namun hal tersebut tidak diindahkan. Masalah lainnya terletak pada penerapan status PSBB yang pada akhirnya berdiri sendiri-sendiri. Seperti Maluku yang terdapat PSBR (Perbatasan Sosial Berskala Regional) dan penerapan PSBB di Papua yang ditentukan oleh Pemda Papua sendiri,”ungkapnya.

Poin kedua, lanjut Anam adalah terkait soal PHK dan perlindungan bagi semua. Dalam hal ini, dikatakan bahwa Buruh dan pekerja menjadi salah satu yang terdampak dari kebijakan penanggulangan Covid-19 dengan angka PHK yang sangat besar. Menyikapi hal tersebut, harus ada perlakuan yang berimbang, dan jaminan atas hak buruh juga harus dilindungi. Selanjutnya, untuk poin ketiga, menyangkut bantuan hidup langsung yang tepat sasaran dan tanpa diskriminasi. Anam menyatakan bahwa hampir semua daerah, mulai memberikan bantuan hidup, namun persoalan yang muncul adalah masih terdapat data dan penerima yang kurang tepat sasaran.

“Hampir semua daerah, mau yang statusnya PSBB atau tidak, sudah mulai ada bantuan hidup, karena memang dianggap ada dampak yang bisa dirasakan dalam konteks bantuan hidup ini. Nah persoalannya, kami masih menemukan, ketidak-akuratan data sehingga ini kurang tepat sasaran. Hal ini terjadi pada beberapa tempat, seperti DKI dan tempat yang lainnya juga ada,” ungkap Anam.

Fenomena kriminalitas yang dihubungkan dengan pengeluaran narapidana dari penjara, menjadi poin evaluasi selanjutnya. Terkait hal ini, ada 2 hal yang menjadi fokus perhatian Komnas HAM yakni mencabut status asimilasi atau pembebasan bersyarat bagi narapidana yang melanggar, serta penting untuk memperbaiki dan memperkuat mekanisme pengawasan dengan melibatkan semua pihak, termasuk kepolisian dan struktur pemerintahan paling bawah.

“Kami juga mendorong, pengawasan ini ada satu mekanisme yang melibatkan struktur pemerintah yang paling bawah. RT/RW, Kelurahan, itu bisa diberdayakan untuk melakukan pengawasan. Karena memang statusnya adalah narapidana ini bukan dibebaskan, tetapi mereka dalam program asimilasi ataupun bebas bersyarat. Artinya, kontrol masih ada tinggal pengawasan. Apalagi kebijakan secara umum adalah, tinggal dirumah, tidak keluyuran. Nah jantung pengawasan itu, di Pemerintahan paling bawah,” ujar Anam.

Selanjutnya, terkait buruh migran dan keluarganya turut menjadi perhatian Komnas HAM. Dalam hal ini, belum dijelaskan skema perlindungan bagi buruh migran termasuk pekerja yang masih berada di negara tempat bekerja yang pulang melalui jalur-jalur tradisonal atau tidak resmi. Selain itu masih adanya stigma bagi buruh migran tersebut.

Hasil evaluasi tata kelola penanggulangan Covid-19 di tingkat Nasional lainnya, berkaitan dengan tata kelola bagi penyandang disabilitas. Sampai detik ini, belum ada satu kebijakan khusus bagaimana penanggulangan Covid-19 bagi penyandang disabilitas, akibatnya akses bagi disabilitas diberbagai pelayanan pun belum maksimal.

“Memang belum ada satu kebijakan khusus bagi penyandang disabilitas, sehingga akses disabilitas diberbagai pelayanan itu belum maksimal. kedua adalah, berdasarkan hasil kajiannya Komnas HAM tahun 2017-2019 bagi penyandang disabilitas mental, di panti-panti sosial. Hasil kajiannya adalah, di panti-panti sosial tersebut ada yang over crowded dan bagaimana itu kebijakannya. Tidak ada kebijakan yang memang bisa kita akses,  Oleh karenanya penting untuk memikirkan bagaimana ada kebijakan khusus soal disabilitas ini,” lanjutnya.

Pada poin ketujuh berkaitan dengan Penegakan Hukum dan Tim Terpadu. Sampai saat ini, secara umum tim penegakan hukum terpadu bekerja dengan baik, dengan pendekatan humanis, dialogis namun tegas. Komnas HAM berharap kondisi ini dapat terus berjalan dengan baik, dan masyarakat juga semakin membaik. Namun, ada beberapa catatan, masih terdapat upaya ancaman pemidanaan dan ancaman tindakan koersif (pemukulan dengan rotan), Komnas HAM berharap hal ini tidak terjadi dikemudian hari.

Hal terakhir yang menjadi evaluasi ialah hak beribadah. Komnas HAM masih menemukan adanya ketidaksadaran masyarakat untuk beribadah di rumah. Oleh karena itu, Komnas HAM meminta Pemerintah dan tokoh agama memberikan himbauan dan melakukan dialog secara terus menerus untuk memberikan kesadaran dan kepedulian bahwa kesehatan publik adalah yang terpenting.

“Ke depannya kita sudah masuk di bulan ramadhan, kami berharap seluruh masyarakat dapat beribadah di rumahnya masing-masing. Saat ini, menjaga kesehatan penting dan bagian dari beribadah kita. Oleh karena, itu seruan dari berbagai pihak seperti MUI, Ormas, Tokoh Agama, ayo kita camkan bareng-bareng, agar kita bisa beribadah di rumah,” seru Anam.

 
Sementara itu, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menyampaikan bahwa dalam perspektif Hak Asasi Manusia termasuk dalam perspektif konstitusi, keselamatan warga negara itu merupakan hukum yang tertinggi dan peran negara di dalamnya untuk menjaga. “Tidak hanya kesehatan, hal ini juga menyangkut hak hidup. Lebih lanjut, Negara dalam perspektif institusi maupun perspektif HAM, harus dapat melindungi segenap warga negaranya, baik yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar Indonesia,” ungkap Taufan. Delapan (8) poin yang telah disampaikan sebelumnya telah menjelaskan bagaimana negara melindungi sosial ekonomi atau kesejahteraan warga negara. Oleh karena itu, tata kelola harus diperbaiki, apabila tata kelola tidak diperbaiki dengan lebih baik, maka kemampuan negara dalam menjamin, melindungi dan memenuhi hak asasi warga tidak dapat maksimal.

Taufan juga menyampaikan bahwa dampak ekonomi juga tidak hanya dialami oleh daerah-daerah yang memberlakukan PSBB. Namun, daerah yang belum menerapkan PSBB pun sebetulnya telah terjadi dampak ekonomi yang luar biasa. Kemampuan negara seccara maksimal harus diberikan dalam rangka memenuhi hak sosial ekonomi warga negaranya.

“Saya sebenarnya tidak terlalu suka dengan istilah bantuan, karena bantuan seolah-olah negara tidak bertanggung jawab dan hanya keprihatinan, karena sebetulnya ini adalah kewajiban negara. Jadi negara sebagai penanggung jawab seluruh kehidupan masyarakat berkewajiban. Oleh karena itu, apa yang diberikan kepada masyarakat meskipun selama ini istilahnya bansos dan lain sebagainya sebenernya itu tidak terlalu tepat. Tanggung jawab negara dengan semaksimal mungkin harus memenuhi kehidupan warga negara dimana pun dia berada,” tegas Taufan.(Radhia/Ibn)


Short link