Kabar Latuharhary

Omnibus Law Lemahkan Hak atas Tanah dan Pangan

Kabar Latuharhary – RUU Cipta Kerja mendistorsi hak atas pangan dan hak atas tanah. Bila disahkan dan diberlakukan, akan berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.

Kepala Bagian Pengkajian dan Penelitian, Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono,  membuka Forum Group Discussion (FGD) online Tim Kajian Omnibus Law Komnas HAM, Selasa (09/06/2020). Dalam kesempatan tersebut Mimin menyampaikan bahwa FGD ini merupakan rangkaian proses yang bertujuan untuk menggali masukan, pengalaman, dan data-data dari narasumber. “Masukan-masukan ini berguna untuk mempertajam dan menguatkan kertas posisi (policy paper) Komnas HAM terkait RUU Cipta Kerja yang akan disampaikan kepada pemerintah dan DPR”, buka Mimin.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Presidium Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan, berpendapat bahwa RUU Omnibus LAW secara metode, momentum, dan substansi penyusunannya dinilai banyak timbul permasalahan. Dampaknya, RUU Cipta kerja ini akan mendistorsi prinsip-prinsip kedaulatan hak atas pangan.

“Kalau kita melihat segitiga Undang-Undang Pangan, puncaknya adalah pangan sebagai Hak Asasi Manusia, dimana pemenuhannya itu melalui kondisi ketersediaan pangan atau ketahanan pangan”, papar Gunawan.

Kondisi kemandirian atau kedaulatan pangan dapat terpenuhi jika pemerintah dapat memberikan kebijakan terhadap pembatasan impor. “Terutama terkait upaya untuk mengutamakan kecukupan produksi dalam negeri, cadangan pangan pemerintah, masyarakat, serta pemberdayaan lingkungan dan produsen pangan, nelayan dan pelaku usaha”, jelas Gunawan.

Gunawan menyayangkan bahwa konsep upaya kemandirian pangan tersebut, melalui RUU Cipta Kerja justru malah memudahkan impor pangan. “Impor terhadap pangan diletakkan setara dengan kecukupan dan cadangan pangan. Impor yang tadinya dibatasi, kemudian naik pangkat menjadi salah cara yang digunakan untuk memenuhi ketersediaan pangan. Itulah, gambaran besar dampaknya terhadap hak atas pangan”, sesalnya.

Selain memudahkan impor pangan, RUU Cipta kerja menurut Gunawan juga merelaksasi pembatasan modal asing. Di dalam UU holtikultura, penanaman modal asing dibatasi maksimal 30%, namun di dalam RUU cipta kerja pembatasan tersebut akan dihapuskan.

“Kesimpulannya, RUU Cipta Kerja ini sesungguhnya berusaha membuka hal-hal yang sejak dulu terhalang oleh kritik masyarakat, gugatan uji materi, atau mungkin rekomendasi dari Komnas HAM sendiri. Namun, saat ini mencari bentuk lain dengan salah satu cara yang digunakan adalah Omnibus Law itu”, terangnya.

Pelemahan Hak Atas Tanah


Selain Gunawan, hadir pula Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA, Iwan Nurdin yang lebih memberikan catatan terhadap RUU Cipta Kerja terkait pertanahan. Menurut Iwan, permasalahan RUU Cipta Kerja di bidang pertanahan itu terkait strategi pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada kepercayaan terhadap investor besar sebagai juru selamat ekonomi.

“Rumusan masalahnya kemudian adalah terdapat kemelut/kesulitan para pengusaha untuk memperoleh tanah dan kekayaan alam yang mayoritas anggapannya karena adanya hambatan birokrasi atau perlawanan masyarakat. Oleh karena itu, mereka menjawabnya dengan mengatur, sejak proses pengadaan tanah dan pembangunannya, segala hambatan dari masyarakat dan birokrasi itu mesti di pangkas”, papar Iwan.

Menurut Iwan, RUU Cipta kerja tersebut kedudukannya bertentangan dengan konstitusi. Bahkan menurutnya, beberapa pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan sengaja dihidupkan kembali oleh RUU Cipta Kerja.

Omnibus Law  atau RUU Cipta Kerja telah menempatkan tanah dan sumber daya alam sebagai barang komersil yang ditawarkan melulu kepada investor, bahkan dengan cara-cara yang bertentangan dengan UUD 1945, UU Pokok Agraria (UUPA) dan berpotensi melanggar HAM”, jelas Iwan.

Ancaman yang terjadi kemudian, akan menimbulkan persoalan terkait meningkatnya penggusuran dan ketimpangan. “Salah satu yang berbahaya adalah RUU ini secara terang-terangan ingin merubah UUPA No. 5/1960 dengan perubahan fundamental terhadap hak pengelolaan dan bank tanah yang berimplikasi pada semakin besarnya liberalisasi agraria. Selain itu, RUU ini juga berupaya untuk menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan dan pertambangan sehingga akan meningkatkan monopoli/penguasaan tanah”, lanjut Iwan.

Iwan kembali menegaskan bahwa permasalahan RUU Cipta kerja di bidang pertanahan, dapat dilihat dari sisi filosofis konsep pembangunan. “Pemberian hak atas tanah itu, mengacu pada pasal 12 dan 13 UUPA, hanya diberikan kepada lapangan usaha bersama, gotong royong, untuk mencegah monopoli tanah, penghisapan manusia atas manusia, dan Badan Usaha. Dengan demikian, pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan sebagainya, sesungguhnya oleh perancang UUPA itu, diprioritaskan kepada bentuk usaha koperasi, bukan korporasi”, pungkas Iwan. (Niken/Ibn/RPS)


Short link