Kabar Latuharhary

New Normal, Kebijakan Pemerintah Harus Refleksikan Perspektif HAM

Latuharhary – Kebijakan tatanan normal baru (New Normal) selayaknya merefleksikan implementasi prinsip kemanusiaan dan pemenuhan hak asasi manusia yang tinggi.

Koordinator Subkomisi Penegakan Hak Asasi Manusia Komnas HAM RI Hairansyah menegaskan hal tersebut ketika menjadi pembicara dalam Diskusi Publik Daring : "Kebijakan New Normal dalam Perspektif Keamanan, HAM dan Pelayanan Publik" yang diselenggarakan IAPA Kalsel dan Pusat Studi Kebijakan Publik Universitas Lambung Mangkurat via Zoom, Selasa (16/6/2020).

“Komitmen dan perspektif HAM harus menjadi acuan dalam penanggulangan COVID-19 agar setiap kebijakan dan langkah dilakukan dengan menghormati martabat manusia, melindungi HAM dan proporsional,” tegas Hairansyah.

Berbicara mengenai tatanan normal baru, Hairansyah menekankan bahwa ada persyaratan yang harus disiapkan dan dimaksimalkan di berbagai aspek sebelum diterapkan ke tengah masyarakat. Hal penting yang tidak boleh luput, yaitu pemenuhan layanan publik prioritas bagi kaum penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Di dalamnya tercantum hak penyandang disabilitas menjadi prioritas dalam kondisi bencana. 

Perlindungan bagi kaum buruh dan pekerja turut menjadi perhatian karena menjadi  sektor yang paling terdampak ketika pandemi COVID-19 terjadi.

"Buruh kita kebanyakan berasal dari sektor informal yang kemudian terimbas, ini yang semestinya mendapat bantuan langsung tunai atau bantuan sosial,” tegas Hairansyah.

Ia kemudian menilai aspek legalitas kebijakan pemerintah dalam upaya penanggulangan pandemi COVID-19 yang dinilai tidak mampu menjangkau kompleksitas dampak dari pandemi. 

“Pada tahap awal, ada kegagapan dalam melakukan tindakan yang sebenarnya tentu dalam situasi darurat ini meskipun bisa dimaklumi dan dipahami, namun tetap saja menimbulkan bias dalam kebijakan yang dilakukan. Sehingga harusnya dipastikan ada penguatan aspek legalitas yang memadai,” ujar Hairansyah mencermati.

Dari perspektif hak asasi manusia dalam Prinsip Siracausa, terdapat yang aturan tentang pembatasan hak asasi manusia dalam kondisi darurat. Dalam kondisi kedaruratan kesehatan seperti yang terjadi, imbuh Hairansyah, saat ini dimungkinkan pembatasan, pengurangan, dan penundaan penikmatan hak asasi manusia. Seluruh tahapan tadi harus ditetapkan berdasarkan hukum, ada pernyataan pemberitahuan dan pemberhentian darurat, tidak membatasi non derogable rights, benar-benar dibutuhkan (necessary), pengaturan yang jelas, ketat, tidak multitafsir, dan proporsional.

Hairansyah juga mencermati regulasi tentang sejumlah pembatasan kala pandemi di Indonesia. Pemerintah melalui skema Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah mengimplementasikan kebijakan yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

"Namun jika kita lihat, dalam konteks Indonesia, PSBB yang diterapkan seperti PSBB rasa karantina wilayah karena ada pembatasan transportasi mencakup darat, laut dan udara. Ada kebijakan yang campur aduk disini,” nilai Hairansyah.

Inti dari upaya pengendalian penyakit menular, menurutnya, penyediaan pelayanan dasar kesehatan yang non diskriminatif dan mudah diakses. Lantaran hak atas kesehatan merupakan penikmatan hak asasi manusia yang paling tinggi dan keselamatan publik harus diutamakan.

“Memang yang paling menjadi problem adalah kapasitas tenaga kesehatan dan ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang kemudian juga soal distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata. Terakhir perlindungan terhadap para tenaga kesehatan, mereka merupakan garda terdepan dalam kondisi ini, yang dalam awal pandemi perlindungan terhadap mereka tidak cukup memadai,” ujar Hairansyah merinci.  (AAP/IW)

Short link