Kabar Latuharhary

Nasib Pembela HAM di Papua

Latuharhary – Pembela HAM di Papua tidak dapat dilepaskan dari situasi umum yang dihadapi rekan mereka lainnya di Indonesia. Dalam perjuangannya, perjalanan Pembela HAM mengalami dinamika dan kerentanan yang kompleks. Mereka rentan mendapat ancaman, mulai dari pembunuhan, kekerasan, intimidasi, persekusi, stigmatisasi, teror, bahkan kriminalisasi.

Demikian disampaikan Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan, Beka Ulung Hapsara dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM, pada Selasa (16/06/20). “Harus menjadi catatan serius Pemerintah untuk melindungi keselamatan dan keadilan para Pembela HAM baik di Papua atau pun di luar Papua”, ucap Beka.

Lebih lanjut dalam diskusi yang mengangkat tema “Pembela HAM di Papua: Tantangan Penegakan HAM di Wilayah Konflik”, Beka menuturkan jika saat ini Papua ada dalam krisis yang multidimensi. Krisis tersebut meliputi aspek sosial di mana adanya stigmatisasi negatif, diskriminasi pada pelayanan publik dan perlakuan di depan hukum, yang secara langsung berimplikasi pada aspek hak asasi manusia. “Terkekangnya hak-hak Pembela HAM di Papua, kebebasan berekspresi, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang sering kali dikaitkan dengan tindakan separatis dan makar”, lanjutnya.

Senada dengan Beka, Mona dari LBH Pers mengungkapkan jika pada 2020 Indonesia tidak hanya mengalami pandemi Covid-19, namun juga mengalami pemberangusan kebebasan berekspresi para Pembela HAM. Hal ini sangat disayangkan Mona karena kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan suatu usaha penting para Pembela HAM.

"Ini menggambarkan kebebasan berpendapat dan berekspresi tanpa adanya indoktrinasi serta rasa takut berkaitan erat dengan pandangan para pembela HAM itu sendiri," ucap Mona

Pada kesempatan ini, Mona mengungkapkan setidaknya ada dua pola yang digunakan dalam membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi para Pembela HAM di Papua. Pola pertama melalui instrumen hukum dengan menggunakan Undang-Undang yang sangat kontroversial yaitu Undang-Undang KUPHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pada kedua Undang-Undang tersebut terdapat pasal-pasal yang masih digunakan untuk mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Undang-Undang KUHP menggunakan pasal penghinaan, pencemaran nama baik dan makar, sedangkan UU ITE membungkam para Pembela HAM di media maya dengan pasal pencemaran nama baik, ujaran kebencian, atau ancaman kekerasan di dunia maya. Undang-Undang KUHP dan ITE adalah Undang-Undang karet yang mengancam kebebasan berekspresi.

Pemutusan internet di Papua menjadi pola kedua yang digunakan Pemerintah sebagai usaha pembungkaman kebebasan berpendapat di Papua. “Terjadi pemutusan internet dalam waktu yang lama di Papua, 10 hingga 14 hari. Ini merupakan senjata baru dalam pembungkaman kebebasan berpendapat di Papua”, lanjut Mona.

Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri yang turut serta menjadi salah satu narasumber menyetujui pernyataan Beka dan Mona. Menurutnya paradigma separatisme telah mengakar dalam stigmatisasi Papua yang mengakibatkan banyaknya penggunaan instrumen hukum untuk membungkam ekspresi di Papua, sehingga diperlukan adanya evaluasi atas instrumen-instrumen hukum tersebut.

Tidak hanya itu, Gufron berpendapat jika konflik timbul karena adanya inkonsistensi dari Pemerintah. Pemerintah melakukan pendekatan damai, tapi di sisi lain juga masih melakukan tindakan represif kepada Pembela HAM. “Padahal hanya menyampaikan kebebasan berpendapat tidak terdapat unsur-unsur makar seperti yang tercantum dalam Undang-Undang”, ungkap Gufron.

Menanggapi hal tersebut Beka mengungkapkan jika masih sedikit kebijakan atau komitmen Negara dalam melindungi para Pembela HAM. “Komnas HAM mencatat hanya beberapa kebijakan yang dapat dijadikan pegangan teman-teman Pembela HAM, diantaranya UUD pasal 28 ayat 1, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang menjamin Pembela HAM dalam perlindungan, pemenuhan, penghormatan HAM, dan pasal 66 di Undang-Undang No. 32 tahun 2009 yang menjadi ttik tolak Pembela HAM”, jelasnya.

Beka tidak memungkiri jika suatu saat nanti ada peluang untuk merevisi Undang-Undang HAM, maka akan ada pasal khusus yang berbicara soal Pembela HAM. Menurutnya penting terdapat konteks khusus terkait Pembela HAM di dalam suatu kebijakan untuk mengatur dan mempengaruhi HAM di Indonesia.
 
Tidak hanya itu, Beka menekankan betapa pentingnya Pembela HAM mendapat ruang tersendiri dalam Negara yang demokratis. Hal ini dimaksudkan untuk dapat menyuarakan ketimpangan atau pelanggaran HAM yang terjadi tidak hanya di Papua tetapi di Indonesia. “Pembela HAM baik di Papua mau pun di Indonesia, harus mendapatkan ruang tersendiri agar tetap bisa menyuarakan pelanggaran HAM”, tekan Beka. (Ratih/Ibn/RPS)
Short link