Kabar Latuharhary

Komnas HAM-Kemenlu RI Bahas List of Issues Prior to Reporting ICCPR Indonesia

Latuharhary- Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik bersama dengan Kementerian Luar Negeri RI membahas List of Issues (LoI) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR/ Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), Jumat (28/8/2020).

Pembahasan bersama loI ini dilaksanakan dalam diskusi daring bertajuk “Retreat Penyusunan Pedoman Delri Pada Sidang Dewan HAM PBB Sesi Ke-45 dan Tindak Lanjut LoI Prior to Reporting ICCPR Indonesia”.

“Sebetulnya, Indonesia dipandang champion, khususnya di Asia Tenggara, dalam pertemuan daring forum SEANF (the South East Asia National Human Rights Forum) tempo hari, teman-teman Filipina dan Thailand menganggap situasi di Indonesia masih lebih baik dibanding negara mereka yang mengalami situasi junta militer, intervensi dan gejolak politik, yang berimbas pada penurunan pemenuhan hak-hak sipol maupun hak ekosob,” ungkap Taufan.

Meski tak bisa dipungkiri Indonesia juga memiliki persoalan serius terkait hak asasi manusia,  secara umum Taufan melihat adanya perkembangan positif. Beberapa indikatornya, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Penyiksaan (United Nations Convention Against Torture/UNCAT) serta Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD).

Soal mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, Taufan sempat mendiskusikan alternatif penyelesaian, misalnya melalui persidangan atas peristiwa. Menurutnya, hal ini dilakukan jika jalur pengadilan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM sulit dilakukan.


"Kita mendorong pengadilan atas peristiwa. Dari pengadilan tersebut maka dilanjutkan dengan amar putusan yang memberikan reparasi kepada korban dan rekonsiliasi. Pendekatan seperti ini bisa menjadi solusi alternatif untuk kasus Aceh sejalan dengan Perjanjian Helsinki mau pun UU Pemerintahan Aceh yg mengatur soal KKR. Juga bisa diterapkan untuk kasus pelanggaran HAM berat yang pelakunya sudah meninggal dunia," jelasnya


Di luar solusi terkait KKR, Taufan mengungkapkan, Komnas HAM menggagas alternatif solusi dengan menyusun sebuah petunjuk mengenai perlindungan pemenuhan hak-hak rehabilitasi terhadap korban. 

Ia menegaskan bahwa mekanisme rehabilitasi terhadap korban tidak menghilangkan proses hukum. "Rehabilitasi adalah bagian dari kewajiban negara terhadap korban pelanggaran HAM yang berat," ujar Taufan



“Kita mendorong supaya pemerintah pusat maupun daerah dengan menggunakan dana khusus dapat memberikan rehabilitasi kepada para korban. Perlu ada suatu standar pelayanan bagi korban sehingga korban merasa diperhatikan. Ini yang dapat kita masukkan ke dalam mekanisme forgiveness atau permaafan,” ujar Taufan. 

Begitu juga untuk Papua, Komnas HAM bersama para akademisi dan pemerintah daerah mencoba untuk menyusun rancangan undang-undang KKR. 

Isu Papua lainnya, Komnas HAM menemukan masih banyak praktik-praktik dan siklus kekerasan disana. “Masih terjadi di Papua yang sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan kita, tapi juga oleh kelompok-kelompok bersenjata yang kita biasa sebut KKB atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pernah juga untuk kasus yang sifatnya faktual, dimana Komnas HAM melalui Kantor Perwakilan Papua mencoba melakukan upaya mediasi untuk menghindari kekerasan,” lanjut Taufan. 

Berbicara mengenai kebebasan beragama, Komnas HAM juga menyoroti mengenai pasal terkait penodaan atau penistaan agama yang kerap digunakan untuk menyerang pihak-pihak tertentu dengan berbagai motif dan kepentingan, misalnya kriminalisasi.

“Komnas HAM menawarkan standar norma dan pengaturan terkait dengan kebebasan berkeyakinan dan beragama. Jadi kalau kita mau memasukkan pasal-pasal penodaan atau penistaan agama, harus berkaitan dengan ajakan kebencian, diskriminasi dan kekerasan. Jadi kalau orang berdebat mengenai fikih, kami menganggap itu sebagai kebebasan berekspresi yang tidak perlu dikriminalisasi tapi cukuplah organisasi keagamaan yang menyelesaikan,” jelas Taufan.

Taufan juga mengharapkan peran aktif organisasi keagamaan dalam konflik terkait hak kebebasan beragama. “Lembaga keagamaan kita sudah memiliki interaksi, semacam kesepahaman di antara mereka untuk saling menghormati. Jadi kami menganggap lebih baik kita dorong interaksi sosial antara kelompok-kelompok keagamaan,” katanya.

 Sedangkan di aspek legal, Taufan berharap pemerintah tegas terhadap aksi  penodaan agama, terutama yang merujuk pada mengajak permusuhan, kebencian, diskriminasi, dan praktik kekerasan. 

“Jadi misalnya saya mengajak jamaah saya menyerang jemaat lain, ini baru masuk ke ranah pidana, namun ketika saya berpendapat mengenai fikih tertentu Komnas HAM menganggap ini sebagai bagian dari kemerdekaan berekspresi, berkeyakinan dan beragama,” tutur Taufan.
Isu lain yang saat ini menjadi catatan Komnas HAM, salah satunya maraknya kriminalisasi terhadap human rights defender atau aktivis pejuang HAM. “Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi orang-orang yang mengalami intimidasi,” ujar Taufan

Dalam diskusi ini hadir Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI Achsanul Habib. Kedua pihak membicarakan ICCPR karena Indonesia menjadi salah satu negara yang kovenan internasional tersebut sejak tahun 2005. Konsekuensinya, sebagai salah satu kewajiban negara pihak, Indonesia harus meyiapkan laporan mengenai implementasi dari  pasal-pasal yang diatur dalam ICCPR. 

Cakupan isu-isu dalam ICCPR bersifat luas, sensitif, dan kompleks serta perlu mendapatkan perhatian khusus seperti isu kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul dan berpendapat, sert hak untuk menentukan nasib diri sendiri (right to self determinations).(AAP/IW)

Short link