Kabar Latuharhary

Menyoal RUU Masyarakat Hukum Adat

Latuharhary – Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang telah dibahas sejak jaman SBY mandek. Padahal keberadaan RUU ini sangat penting dalam perlindungan, pemenuhan dan penghormatan masyarakat adat di Indonesia.

Demikian disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Sandrayati Moniaga saat menjadi narasumber dalam webinar “Menyoal Urgensi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat” yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), pada Kamis (25/06/20). “Penting adanya materi RUU Masyarakat Hukum Adat yang relevan dengan kondisi mereka, agar dapat menjamin pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak-hak mereka”, ucapnya.

Sandra menekankan jika secara substansi RUU Masyarakat Hukum Adat harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang memajukan masyarakat adat, bukan justru melemahkaan posisi masyarakat adat. “Harus ada revisi dan peninjauan kembali untuk relevansi dan aspek yang akan dikuatkan agar RUU ini dapat mengawal penegakan HAM masyarakat adat”.

Tujuan dari RUU Masyarakat Hukum Adat adalah untuk menjembatani masyarakat adat dengan Negara. Pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan kepada masyarakat adat dijalankan oleh Negara dengan peraturan yang jelas, lengkap dan relevan. Ada banyak kebijakan yang mengatur tentang masyarakat adat, tetapi tidak jelas, tidak lengkap dan tidak relevan. Maka perlu adanya  harmonisasi kebijakan-kebijakan tersebut agar tidak menjadi penghambat dalam merealisasikan HAM.


Senada dengan Sandra, Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi berpendapat jika adanya tumpang tindih Undang-Undang tentang masyarakat adat yang telah dikeluarkan Pemerintah. “Apabila diibaratkan dengan analogi tubuh, belum ada Undang-Undang yang mengatur tentang masyarakat adat secara utuh sebagai satu tubuh. Kementerian KLHK mengatur hanya bagian tangan saja, Kementerian ATR hanya kepalanya dan begitu pula yang lainnya hanya badan atau kaki saja”, jelas Rukka.

Tidak adanya kesinambungan antar peraturan ini menunjukan Pemerintah kurang memperhatikan keberadaan masyarakat adat. Masyarakat adat rentan terusir dari wilayahnya karena belum ada kepastian hukum yang benar-benar melindunginya. “Banyak masyarakat adat yang tersingkir karena wilayahnya diambil alih perusahaan-perusahaan untuk dibangun infrastruktur dan konservasi”, ungkap Rukka.

Kerentanan masyarakat adat pun bertambah di tengah pandemi Covid-19. Dari sisi perlindungan, jika Covid-19 sudah masuk dan menjangkiti masyarakat adat maka kehidupan mereka sangat terancam. Hal ini disebabkan karena mereka hidup tanpa adanya transportasi yang memadai, jauh dari kota, dan dengan fasilitas kesehatan serta peralatan kesehatan yang tidak memadai.

“Sekarang sedang Covid-19, ada banyak informasi-informasi yang telah kami galang dan hasilnya menunjukan semakin mendesak dan relevan untuk segera ada pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat”, imbuh Rukka.

Sandra mengingatkan perlu adanya perangkat hukum yang mengatur khusus tentang masyarakat adat karena belum adanya pengakuan terhadap masyarakat adat mengakibatkan tidak diakuinya wilayah adat dan jaminan keamanannya. Perlu adanya perhatian dan keseriusan Pemerintah untuk melindungi masyarakat adat yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia.

“Terkait bentuk peraturan RUU Masyarakat Hukum Adat kita bahas bersama, yang penting RUU Masyarakat Hukum Adat harus bersifat partisipatif, substansinya mendukung keragaman dan berisi penghormatan terhadap HAM masyarakat adat. Jika ini tidak ada, lebih baik tidak usah ada RUU karena dikuatirkan justru akan membuat masyarakat adat megalami kemunduran”, pungkas Sandra. (Ratih/Ibn/RPS)

Short link