Kabar Latuharhary

Refleksi Pengadilan HAM, Sebuah Hutang Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat

Latuharhary-Persoalan pelanggaran HAM berat  di Indonesia selalu mendapat sorotan dari banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Penyelesaiannya mengalami hambatan karena berbagai faktor penyebab.

“Diskusi  tentang pelanggaran HAM berat ini sampai sekarang semuanya masih belum tertuntaskan penyelesaiannya ini, seolah kita memasuki suasana politik roller coaster,”kata Wakil Ketua Internal Munafrizal Manan sebagai narasumber dalam Diskusi Publik: Refleksi Praktik Pengadilan HAM di Indonesia, Rabu (31/3/2021).  

Komnas HAM, imbuh Munafrizal, memberikan perhatian penuh melalui beragam cara, mulai dari menemui Presiden RI, Menkopolhukam, termasuk Jaksa Agung. Namun, hasilnya kontraproduktif dengan harapan penyelesaian kasus yang pernah dijanjikan.

“Tanpa disadari atau mungkin juga disadari kita memasuki politik buying time, jadi mengulur ulur waktu  untuk mengambangkan persoalan ini,” jelas Munafrizal.

Kondisi  tersebut ditengarai menjadi salah satu penyebab mandeknya 12 berkas hasil penyelidikan Komnas HAM. Meski demikian, Munafrizal mengingatkan terdapat tiga kasus pelanggaran HAM berat yang bisa dijadikan patokan alternatif penyelesaian, di antaranya kasus Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura. Kesemua kasus diselesaikan melalui proses pengadilan HAM yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.


Alur mekanisme pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc, imbuh Munafrizal, didasarkan atas usulan DPR RI, kemudian berdasarkan pada peristiwa tertentu melalui Keputusan Presiden.

“Yang bisa direflesikan adalah terkait dengan pengadilan HAM dan pengadilan HAM ad hoc ini  memang ada persoalan yang bertingkat-tingkat,  mulai desain pengadilan ad hoc, performa jaksa penuntut umum, dan juga persoalan sikap hakim atas pelanggaran HAM berat ini. Kita perlu untuk menyadari dalam menegakkan keadilan atas pelanggaran HAM yang berat ini dari aspek dan normatif dan praktik itu  itu memang luar bisa serius tantangannya, belum bicara aspek politik,” ujar Munafrizal.  

Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik juga turut merefleksi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga kini masih belum menjawab rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban maupun keluarga korban.

“Kami juga mendapat dukungan dari masyarakat sipil, perguruan tinggi dan anggota DPR Komisi III  agar bangsa kita bisa menyelesaikan persoalan (pelanggaran HAM berat masa lalu) yang telah terjadi,” ungkap Taufan. Refleksi ini menurut Taufan, sangat penting sebagai kepedulian bersama dalam mencari jalan keluar ‘hutang sejarah’ bangsa  Indonesia.

Narasumber lainnya merupakan pelaku sejarah pembentukan pengadilan HAM, antara lain  Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro dan Jaksa Agung Periode 1999-2001 Marzuki Darusma. Pembahas lainnya, yakni Anggota Komisi II DPR RI Habiburokhman serta Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LelP) Dian Rositawati. Hadir pula Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara dan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandra Moniaga. (SP/AAP/IW)

Short link