Kabar Latuharhary

Membangun Mekanisme Pencegahan Penyiksaan di Indonesia

Kabar Latuharhary – Penyiksaan merupakan musuh semua umat manusia. Semua negara/bangsa menganggap bebas dari penyiksaan merupakan hal yang mendasar. Lima lembaga hak asasi manusia (HAM) yaitu: Komisi Nasional (Komnas) HAM; Komnas Perempuan; Komisi Perlindungan Anak  Indonesia (KPAI); Ombudsman RI (ORI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membangun mekanisme pencegahan penyiksaan melalui program “Kerja sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) di Indonesia.” Berbagai peluang dan tantangan dihadapi oleh KuPP dalam upaya pencegahan penyiksaan di Indonesia.

Sandrayati Moniaga Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM  menyampaikan poin-poin pembahasan tersebut saat menjadi narasumber dalam Konsultasi Teknis Bantuan Hukum dan Standar Bimbingan Keterampilan dan Kepribadian Bagi Tahanan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM RI di Merlyn Park Hotel, 6 April 2021.

Komisioner yang akrab disapa Sandra ini mengungkapkan bahwa dalam keadaan apapun, baik darurat perang maupun tidak, setiap orang harus bebas dari penyiksaan. “Tindak penyiksaan juga merupakan tindak pidana dan pelakunya harus dihadapkan ke pengadilan,” ujar Sandra.

Sandra menjelaskan beberapa landasan hukum yang menguatkan jaminan kebebasan setiap orang dari tindakan penyiksaan, yaitu: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 I (1) dan (2); Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; dan Peraturan Panglima TNI Nomor: Perpang/73/IX/2010 tentang Penentangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam dalam Penegakan Hukum di Lingkungan TNI.



Menyoroti soal mekanisme pencegahan penyiksaan di Indonesia pada saat ini, Sandra mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan inisiatif bersama dari lima lembaga HAM untuk membentuk tim gabungan Kerja sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP). Tim gabungan KuPP telah menandatangani MoU pada 26 Feb 2016 dan terus bekerja sama melakukan serangkaian pertemuan dan kegiatan terkait mekanisme pencegahan penyiksaan hingga saat ini.

KuPP kemudian sepakat untuk membuat laporan bersama dengan menuliskan pengalaman pemantauan berdasarkan mandatnya masing-masing. Pemantauan dilakukan di tahanan dan tempat-tempat serupa tahanan. Dari hasil pemantauan pada lapas dan rudenim ditemukan dugaan tindak penyiksaan, pelayanan kesehatan tidak optimal, buruknya fasilitas sandang, pangan dan air bersih, isolasi tahanan melebihi batas, serta masih adanya anak-anak balita di lapas perempuan. Ada juga fenomena deret tunggu (death row) di mana penderitaan panjang antara menunggu eksekusi mati dengan kondisi penjara yang buruk juga merupakan bentuk penghukuman yang kejam. Begitu pula kondisi di panti-panti sosial serta rumah sakit jiwa, ada temuan masih tingginya penyiksaan dan perlakuan semena-mena.

Kemudian menurut Sandra, beberapa hal yang menjadi tantangan ke depan bahwa penyiksaan merupakan fenomena gunung es yang bersifat sistemik. Fenomena tersebut sebagai dampak dari belum adanya aturan larangan penyiksaan dalam KUHP dan penahanan yang terlalu panjang sebelum dibawa ke pengadilan. Selain itu, banyaknya ragam dan jumlah tempat penahanan dengan sistem pengawasan independen yang belum optimal juga dapat menjadi tantangan lain.

Beberapa hal yang dapat menjadi peluang juga disoroti oleh Sandra. Di antaranya adalah dengan membuka ruang dialog yang cukup antara pihak-pihak yang berkepentingan. “KuPP sudah beberapa kali melakukan dialog konstruktif dan membuat MoU dengan Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS),” kata Sandra. Selain itu, masyarakat sipil dan kebebasan pers yang masih terbuka serta upaya untuk membangun pengawasan independen melalui KuPP juga dapat menjadi peluang yang baik.

Sandra menutup paparannya dengan menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dan pihak terkait. Di antaranya adalah agar pemerintah melakukan langkah-langkah penting dalam rangka mencegah penyiksaan dan perlakuan semena-mena lainnya yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Meningkatkan koordinasi lintas kementerian/lembaga dalam rangka menyamakan persepsi akan pentingnya pencegahan penyiksaan. Melakukan sosialisasi publik secara lebih luas tentang pentingnya mekanisme pencegahan penyiksaan di tempat-tempat tahanan dan serupa tahanan. Melakukan pembaruan berbagai peraturan dan kebijakan guna mencegah terjadinya penyiksaan. Mengembangkan kapasitas pihak-pihak yang berkepentingan dalam mencegah terjadinya (terulangnya kembali) penyiksaan dan ill treatment. Secara khusus untuk Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan perlu segera melakukan koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Sosial untuk mendorong ratifikasi Optional Protocol Convention against Torture (OPCAT). Sedangkan untuk Kemenkumham dan internal Tim KuPP perlu melanjutkan MoU yang telah dilakukan bersama untuk memastikan terjadinya pencegahan penyiksaan dan perlakuan lainnya yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, ditempat-tempat tahanan dan serupa tahanan. (Niken/Ibn)

Short link