Kabar Latuharhary

Undang-Undang ITE Harus Merujuk Kepada Penghormatan terhadap HAM

Kabar Latuharhary – Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menjadi narasumber dalam kegiatan wawancara mendalam (indepth interview) yang dilakukan oleh The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) secara daring (dalam jaringan) dengan pembahasan “Perlindungan Kebebasan Berekspresi di Dunia Maya” pada Selasa, 13 April 2021.

Kegiatan ini bertujuan untuk memetakan kondisi kebebasan berekspresi warga negara Indonesia di dunia maya, khususnya pada bentuk-bentuk penyampaian pendapat atau kritik melalui platform daring kepada pemerintah. Implementasi hak ini kerap kali berhadapan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tujuan lainnya untuk mencari upaya stategis dalam mendorong hadirnya perlindungan pada kebebasan berekspresi warga negara Indonesia di dunia maya.

Mengawali kegiatan ini, Beka Ulung Hapsara memberikan gambaran situasi dan kondisi kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Berdasarkan survey terkait kebebasan berekspresi yang dilakukan Komnas HAM bersama dengan Litbang Kompas, hasilnya menunjukkan bahwa 36 persen responden merasa tidak bebas ketika menyampaikan ekspresinya di media sosial atau internet.

“Selain survey yang kami lakukan bersama dengan Litbang Kompas, ada juga riset freedom house yang menunjukkan skor 49 dari 100 untuk kebebasan berinternet di Indonesia. Artinya, tidak bebas sepenuhnya,” ucap Beka.

Beka Ulung Hapsara menyampaikan ada tiga faktor utama yang menjadi penghambat dalam penerapan kebebasan berekspresi di Indonesia. Pertama polarisasi di masyarakat. Kedua, terkait regulasi. Dan faktor ketiga ialah aparat penegak hukum yang positivistik, tidak progresif dan ahistoris.

“Narasi-narasi politik yang dibungkus agama, kemudian membuat polarisasi di masyarakat bertambah lebar dan mendalam. Untuk faktor regulasi, kita dapat melihat Undang-Undang ITE yang  terdapat debat panjang terkait pasal 27 sampai pasal 29. Sementara itu, terkait aparat penegak hukum yang ahistoris, pertama aparat penegak hukum tidak melihat konteks peristiwa hukum yang terjadi, positivistik hanya berdasarkan pada apa yang tertulis saja dengan interpretasi yang macam-macam. Selain itu tidak mau menggunakan upaya alternatif sebagai penyelesaian dari apa yang diadukan masyarakat dalam kaitannya dengan Undang-Undang ITE,” ujar Beka.

Saat ini pemerintah sedang membentuk kajian terkait tim revisi Undang-Undang ITE. Beka Ulung Hapsara menjelaskan beberapa regulasi penting terkait Undang-Undang ITE kedepannya. Pertama ialah mengurangi multi interpretasi, kedua bagaimana Undang-Undang ITE dapat menciptakan enabling environment yang baik, ketiga Undang-Undang ITE harus merujuk kepada penghormatan terhadap hak asasi manusia.

“Demokrasi itu berdasar kepada penghormatan terhadap hak asasi manusia, Undang-Undang ITE juga harus diletakkan ke sana. Caranya dengan tidak memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat, tentu kita dapat berdebat terkait batasannya. Kedua, semangatnya sangat positif menciptakan ruang-ruang baru di mana kritisisme warga dengan warga, maupun warga dengan pelayan publik itu tumbuh diskursus yang baik,” kata Beka.

Beka menegaskan bahwa kebebasan berekspresi memiliki batasan-batasan yang jelas, selain itu standar dari kebebasan berekspresi tersebut harus dipahami bersama. Dan, untuk dapat membedakan antara kritik dan ujaran kebencian harus dilihat dari teks dan konteksnya.

“Orang tidak setuju dengan satu pendapat itu boleh, yang tidak diperbolehkan adalah mengajak orang lain untuk melakukan ujaran kebencian, dan kekerasan. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin di Indonesia. Tetapi ketika komentar bebas, fitnah, hingga ancaman kekerasan tentu saja bukan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat. Siapapun yang melakukan ujaran kebencian dan mengajak berbuat kekerasan, harus diproses hukum,” kata Beka. (Radhia/Ibn)
Short link