Kabar Latuharhary

Refleksi 23 Tahun Reformasi Indonesia

Kabar Latuharhary – Tercatat 23 tahun sudah berlalu sejak peristiwa reformasi 1998 terjadi. Hingga saat ini di Indonesia terdapat tiga fase yang menggambarkan keadaan negara sebagai sebuah institusi. Salah satu unsur penting untuk mempertahankan semangat reformasi tersebut adalah konsolidasi yang kuat dari masyarakat sipil.

Demikian poin-poin pemantik diskusi yang disampaikan Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam saat menjadi narasumber pada diskusi publik bertema “Catatan Kelam 23 Tahun Reformasi: Turbulensi Politik Indonesia Dibalik Distorsi Produk Hukum & Penegakan HAM.” Diskusi publik daring ini diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya Kamis, 20 Mei 2021.

Fase pertama reformasi yang dijelaskan oleh Anam -- sapaan akrab Mhammad Choirul Anam -- yaitu fase di mana ada upaya pelaksanaan yang cukup serius untuk menjalankan amanat reformasi. Fase tumbuh kembangnya harapan akan terimplementasikannya amanat reformasi. Di satu sisi partisipasi dari masyarakat besar, namun di sisi lain konsolidasi kekuasaan masih kurang. Lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), penguatan Komnas HAM melalui undang-undang (UU) dan yang lainnya lahir pada fase ini. Hal ini menjadi satu spektrum bahwa tata kelola kehidupan bernegara diharapkan menjadi lebih baik dalam infrastruktur institusi dan norma-norma hukum.

“Di fase pertama, spirit reformasi itu ada. Fase pertama ini lumayan, menurut saya positif. Walaupun tidak bisa maksimal, namun sebagai suatu gerakan dari masyarakat, mahasiswa, serta aktivis telah berkomitmen untuk mendorong itu semua. Sebagai suatu institusi, pada fase ini kita beranjak untuk menjadi negara yang memiliki harapan sangat besar terhadap proses demokrasi,” kata Anam.
 
Fase kedua reformasi, Anam kembali menerangkan bahwa konsolidasi kekuasaan mulai dibangun, namun masyarakat sudah mulai melupakan energi positif reformasi. Semakin lama, negara sebagai satu institusi yang dilahirkan dalam era reformasi tidak sesuai dengan harapan substansial reformasi. Hasil-hasil reformasi dan kerja-kerja institusi di fase awal menjadi tidak maksimal. Di fase kedua ini, muncul kebijakan-kebijakan yang sarat akan diskriminasi, berbeda jauh dengan semangat amandemen konstitusi yang ada di fase awal.

“Pada fase kedua ini, muncul tantangan baru, yaitu mengkonsolidasikan masyarakat. Kelompok-kelompok seperti aktivis HAM, buruh dan yang lain sedikit ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini karena mereka mulai berpandangan kembali seperti rezim Orde Baru bahwa mereka merugikan pembangunan, reformasi kebablasan dan sebagainya. Stigma itu dicerna oleh publik luas, sehingga partisipasi publik menjadi tidak sekuat di fase pertama. Semakin lama tingkat kekerasan semakin besar,” ujar Anam.

Di fase kedua ini juga menurut Anam ada kritik di tubuh masyarakat itu sendiri. Kebencian, intoleransi, ekstremisme dan pengembangan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) semakin besar. Akhirnya, publik juga disibukkan dengan bagaimana mengelola masyarakat agar kembali tertib pada agenda reformasi dan saling menghormati HAM. Di fase kedua ini, esensi agenda-agenda perubahan pada akhirnya tidak melahirkan produk-produk yang substansial terhadap reformasi.

Selanjutnya fase ketiga era reformasi yang kini sedang kita alami. Anam kemudian memberikan pertanyaan terkait kondisi saat ini, apakah sudah sesuai dengan agenda reformasi atau malah sebaliknya? Menurut Anam, saat ini, konsolidasi kekuasaan semakin utuh, namun konsolidasi masyarakat masih stagnan seperti pada fase kedua. Praktik-praktik atau perilaku kekerasan pun masih berlangsung, bahkan pada beberapa momentum hal itu terjadi dengan sangat signifikan. Struktur kebijakan secara substansi yang pada fase awal itu baik, menjadi tergantikan.

“Pertanyaannya, pada fase ini apakah akan menjadi fase berakhirnya era reformasi atau bahkan fase dimulainya era yang lain. Ada yang menyebut ini era oligarki, otoritarianisme ataupun yang lainnya. Oleh karena itu, mari kita cek bersama-sama. Pertanyaan itu bisa kita cegah sebenarnya dengan cara seperti fase pertama, konsolidasi masyarakat sipil yang harus kuat,” kata Anam.

Anam kemudian mengajak mahasiswa dan publik luas untuk kembali menguatkan konsolidasi masyarakat. “Jadi, teman-teman mahasiswa yang harus terlibat aktif. Mahasiswa, buruh, akademisi dan kita semua harus memikirkan bagaimana tata kelola negara ini dengan baik. Kalau tidak ada partisipasi dan kontrol yang kuat oleh masyarakat, maka kita akan mengalami berakhirnya masa reformasi atau masuknya era otoriter. Ini bahaya dan indikasinya ada,” kata Anam. (Niken Sitoresmi/Ibn)

Short link