Kabar Latuharhary

Mendorong Mekanisme Penyelesaian Konflik Agraria yang Ideal

Kabar Latuharhary – Konflik agraria di Indonesia dari tahun ke tahun terus bertambah. Penyelesaian atas kasus tersebut masih belum optimal. Salah satu penyebabnya karena belum ada mekanisme penyelesaian konflik agraria yang ideal.

“Pertanyaan untuk kita semua, apakah YLBHI atau kita, telah mencoba merumuskan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang ideal? Apakah sudah ada juga identifikasi cara-cara penyelesaian yang tersedia saat ini? Jadi, tidak menunggu yang ideal, tetapi coba kita eksplor dengan cara-cara yang ada sebagai alternatif penyelesaian. Misalnya, perhutanan sosial, reforma agraria, dan lain-lain,” kata Sandrayati Moniaga Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Hal itu disampaikan Sandrayati Moniaga dalam acara “Launching dan Diskusi Publik Riset Agraria: Konflik Agraria dan Perampasan Hidup Rakyat”, yang diselenggarakan secara online oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Minggu, 22 Agustus 2021.

Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rahma Mary memaparkan beberapa poin laporan riset agraria YLBHI bersama kantor-kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) selama tiga tahun terakhir. Dalam kesimpulan hasil laporan yang dipaparkan, Rahma Mary menyebutkan bahwa kasus-kasus agraria yang lama maupun baru, tidak ada kemajuan dalam penyelesaiannya, termasuk kasus-kasus agraria yang terjadi di wilayah adat.

“Pemerintah kerap meneruskan proses-proses pemberian izin juga keputusan kepada perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), juga Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk terus beroperasi dan menguasai tanah-tanah masyarakat, meski ada protes masyarakat, termasuk perempuan dan masyarakat adat,” ucap Rahma Mary. Poin penting lainnya seperti disampaikan oleh Rahma Mary adalah keterlibatan aparat hukum dalam penyelesaian konflik agraria yang terus dibiarkan, didukung atau bahkan melakukan tindakan justru atas nama negara. Selain itu, juga tidak ada akuntabilitas negara dalam penyelesaian konflik agraria, negara/pemerintah justru menjadi pelaku dalam konflik-konflik tersebut.
 

 
Atas laporan YLBHI dan penyampaiannya oleh Rahma Mary tersebut, Sandra -- sapaan akrab Sandrayati Moniaga -- memberikan apresiasinya. “Pertama, saya telah menekankan apresiasi atas konsistensi YLBHI dalam advokasi isu agraria. Kedua, kajian ini ruang lingkup laporannya cukup komprehensif, mulai dari korbannya, sektornya, pola, aktornya, jenis pelanggaran HAM, upaya yang dilakukan, akuntabilitas, hambatan dan tantangan advokasi. Masuk juga hukum adat, dampak konflik agraria pada perempuan dan masyarakat adat,” ujar Sandra. Tak lupa, Sandra juga memberikan beberapa poin catatannya sebagai bahan untuk membantu menajamkan laporan tersebut.

Lebih jauh, Sandra juga memaparkan upaya-upaya Komnas HAM dalam konteks penyelesaian konflik agraria. Menurut Sandra, pada tahun 2002-2004, Komnas HAM telah membentuk tim dan merekomendasikan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Tahun 2014 -2016, menyelenggarakan inkuiri nasional tentang hak masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya di kawasan hutan.

Kemudian pada tahun 2017, Komnas HAM menetapkan isu penyelesaian pelanggaran HAM yang terkait konflik agraria sebagai salah satu isu prioritas dan pengintegrasian dalam Renstra Komnas HAM 2020 - 2024. Tahun 2021, menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Hak Asasi Manusia tentang Tanah dan Sumber Daya Alam. Terakhir, melaksanakan mandat rutin, penelitian, pengkajian, pendidikan, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi.

Sandra kembali menekankan terkait kompleksitas konflik agraria dalam laporan yang juga telah disampaikan oleh Rahma Mary sebelumnya. “Ketiadaan penyelesaian konflik-konflik agraria tersebut, menyebabkan masalah tiap hari kian kompleks. Apalagi konflik-konflik baru kian bermunculan,” tutur Sandra.

Menyepakati hal tersebut, pendapat serupa disampaikan Andik Hardiyanto dari MerDesa Institute. “Saya sepakat dengan Bu Sandra tentang pilihan-pilihan hukum yang harus disaksikan. Karena dalam sejarah panjang konflik agraria yang ditangani oleh LBH, selalu ada pilihan-pilihan hukum yang disebutnya sebagai strategi advokasi. Pilihan-pilihan hukum itu akan menjadi contoh untuk daerah-daerah lain dalam proses menanganinya,” ucap Andik Hardiyanto.

Hadir memoderatori acara tersebut, Ketua Bidang Jaringan dan Kampanye YLBHI, Arip Yogiawan serta dari LBH Makassar Edy Kurniawan yang turut hadir untuk memberikan penguatan dan penajaman dalam penyampaian laporan tersebut.

Penulis: Niken Sitoresmi.
Editor: Rusman Widodo.

Short link