Kabar Latuharhary

Membangun Reformasi di Lembaga Pemasyarakatan


Latuharhary - Kelebihan kapasitas masih menjadi permasalahan jamak di lembaga permasyarakatan (lapas). Pembenahan regulasi diperlukan agar hak-hak para penghuni lapas terpenuhi dan mendapat perlakuan manusiawi.


“Overcrowded adalah permasalahan utama lapas. Kita perlu mereformasi sistem hukum nasional dan terus bergerak bersama dengan aparat penegak hukum, kementerian yang menaungi lembaga pemasyarakatan, pembuat Undang-Undang dan tentunya masyarakat sipil untuk membenahi dan menciptakan situasi dan kondisi lembaga pemasyarakatan yang lebih baik,” ungkap Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik saat menjadi pembicara dalam Regional Conference on Prison Reform yang diselenggarakan oleh Sururuhanjaya Hak Asasi Manusia Malaysia (SUHAKAM) dalam sesi 4 : NHRI Enabling Role for Better Prison System, Selasa (30/11/2021).


Kegiatan yang juga didukung oleh British High Commission Kuala Lumpur ini bertujuan untuk membagikan pengalaman dan implementasi dari para stakeholders terkait reformasi tempat-tempat penahanan.


Ia menyorot persoalan-persoalan dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia, yaitu over kapasitas, kurangnya fasilitas kesehatan, ruang isolasi tahanan yang mestinya sesuai standar  internasional Aturan Mandela (Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners), tata kelola personil pemasyarakatan, tata kelola lembaga pemasyarakatan khusus perempuan, tata kelola lemabaga pemasyarakatan khusus anak yang berperspektif hak anak, tindak kekerasan yang masih terjadi dan fenomena deret tunggu hukuman mati


Komnas HAM RI turut berperan dalam memberantas penyiksaan di lapas atau tempat serupa tahanan lainnya bersama Komnas Perempuan, KPAI, LPSK dan Ombudsman RI tergabung dalam sebuah koalisi bernama Kerja sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang fokus menciptakan kondisi yang mengarah pada pengurangan kemungkinan berulangnya penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia di lapas dan atau tempat serupa tahanan. 


Kegiatan KuPP, di antaranya melakukan kunjungan rutin ke tempat-tempat dengan risiko penyiksaan yang tinggi bagi para tahanan. Tidak hanya itu, KuPP juga menggali fakta, menyusun laporan, menawarkan berbagai masukan dan saran praktis tentang cara menghentikan terjadinya (keberulangan) penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang melalui serangkaian dialog konstruktif dan kerja sama dengan institusi yang menaungi lembaga pemasyarakatan seperti Direktorat Jenderal Pemasyarakatan  dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. 


Taufan mengutip temuan Laporan Pelapor Spesial PBB untuk Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia Manfred Nowak bahwa belum ada kerangka pencegahan penyiksaan yang efektif untuk memastikan bahwa setiap orang berhak atas integritasnya di Indonesia dan kurangnya mekanisme yang memadai untuk melindungi dugaan penyiksaan. Dalam paparan Taufan, Manfred merekomendasikan perlu ada upaya untuk merevisi sistem penahanan, baik lamanya waktu penahanan maupun kesempatan untuk menguji legalitas penahanan; Dalam konteks penegakan hukum, setiap bukti atau kesaksian yang diperoleh dari praktik penyiksaan tidak dapat digunakan.


 “Paling penting adalah reformasi hukum dalam rangka pencegahan penyiksaan, termasuk ratifikasi peraturan internasional (ratifikasi OPCAT),”ungkapnya. (AAP/IW)
Short link