Kabar Latuharhary

Perbudakan Masih Ada di Sekitar Kita

Kabar Latuharhary – Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, hak untuk tidak diperbudak adalah salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Sayangnya, praktik-praktik perbudakan masih sering dijumpai dan seakan lumrah dilakukan karena kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat atas hal tersebut.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga mengungkapkan praktik perbudakan yang masih ada di Indonesia, perbudakan modern bahkan perbudakan konvensional. “Realitas perbudakan di Indonesia masih terjadi, fenomenanya seperti gunung es yang terlihat hanya di permukaan saja, kasus Benjina dan Sumba contohnya,” ucapnya saat menjadi narasumber dalam webinar “Perbudakan Modern Jaman Now: Perdagangan Orang di Indonesia dalam Konteks Pandemi dan Kemajuan Teknologi” yang diselenggarakan oleh Yayasan Parinama Astha dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) secara daring melalui zoom, Kamis (02/12/2021).

Lebih lanjut Sandra – panggilan akrab Sandrayati Moniaga – menjelaskan jika perbudakan konvensional menganggap manusia sebagai benda sehingga bisa diperjualbelikan, dipindahalihkan dan digunakan sesuai dengan keinginan pemiliknya. Perbudakan konvensional ini biasanya dipengaruhi oleh tradisi dan adat yang diberikan secara turun temurun.

Perbudakan modern dijelaskan oleh Sandra masih terjadi di berbagai sektor seperti sektor perikanan, perkebunan, dan buruh migran di luar negeri. Padahal Indonesia telah memiliki landasan normatif yang cukup memadai dalam upaya mencegah dan mengurangi perbudakan modern.

“Merujuk pada instrumen hukum yang ada termasuk berbagai instrumen HAM internasional yang telah dirafikasi Indonesia punya bekal yang cukup, namun adanya relasi kuasa menyebabkan penegakan hukum dan HAM belum dilakukan secara maksimal sehingga masih banyak celah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mempraktikkan perbudakan modern,” imbuh Sandra.

Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati yang turut hadir menjadi narasumber sependapat dengan Sandra terkait adanya relasi kuasa dalam praktik perbudakan modern. Menurutnya relasi kuasa menghadirkan situasi yang lebih eksploitatif sehingga lebih rentan untuk para korban. Tidak hanya itu, adanya pandemi Covid-19 pun memberikan pengaruh besar terhadap kondisi mereka yang dieksploitasi secara tenaga kerja, seksual, maupun keduanya.

“Menurut laporan lima tahun Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2015 – 2019 tercatat 2.648 korban yang teridentifikasi di Indonesia dan 88% di antaranya adalah perempuan. Mereka telah diperdagangkan di dalam negeri maupun lintas batas dengan berbagai alasan,” ungkap Maidina.

Pada kesempatan ini Sandra memberikan semangat dan mengajak para peserta webinar untuk tetap optimis dan kritis dalam mengkampanyekan anti perbudakan karena tugas rumah ini tidak hanya ada di level pemerintah saja, namun masyarakat juga berperan dalam menekan dan mengentaskan praktik perbudakan di Indonesia. “Mari mulai dari rumah kita, asisten rumah tangga kita bukan budak kita namun mereka adalah mitra kerja kita, kemudian mulai dari tempat kerja kita dan lingkungan sekitar kita,” pungkas Sandra.

 

Penulis: Andri Ratih

Editor: Hari Reswanto 

 

Short link